Rabu, 20 November 2019

Shalat Sufistik


SHALAT SUFISTIK
MENURUT NASKAH ASRAR AL-SHALAH





Abstrak: Naskah tulisan tangan dengan topik tasawuf merupakan salah satu topik naskah yang banyak beredar di Indonesia, salah satu di antaranya adalah Asrar al-Shalah. Penelitian ini bertujuan menguak isi dari teks naskah tersebut. Melalui metode filologi dan analisis hermeneutik ditemukan bahwa kandungan teks naskah ini berbicara tentang shalat yang tidak hanya dilihat dari sudut pandang fikih namun juga dalam perspektif tasawuf. Hal itu dapat terlihat dari uraian penulis yang menyaratkan amalan batin demi kesempumaan shalat. Dengan amaJan batin ini seseorang akan menghidupkan dan menjadikan shalat lebih bermakna dan mendatangkan kekhusyukan, sehingga dia dapat bermi'raj dengan shalatnya. Perpaduan antara kerangka pikir fikih dengan kerangka pikir tasawuf ini merupakan kecenderungan pemikiran yang berkembang pada abad ke-17 dan ke-18 di Nusantara sebagai akibat dari pengaruh tasawuf al-Ghazali Naskah ini. secara intertekstual, banyak dipengaruhi oleh karya al-Ghazali Ihya 'Ulum aI-Din.

Kala kunci: shalat, fikih, tasawuf, khusyu', mi'rāj


PENDAHULUAN
“Bhineka Tunggal Ika” adalah semboyan yang menghiasi lambang negara dan selalu didengungkan di seluruh daratan republik ini. Semboyan ini mencerminkan keragaman budaya bangsa yang terdapat di bumi pertiwi. Kenyataannya memang demikian, persada ini sangat kaya akan budaya-budaya karena terdiri dari berbagai suku bangsa.
Kekayaan ragam budaya merupakan warisan yang tak ternilai harganya dari nenek moyang bangsa ini. Dan itu dapat ditelusuri melalui artefak-artefak peninggalan masa lalu yang telah ditemukan. Artefak tersebut dapat berupa peninggalan sejarah dalam bentuk bangunan seperti keraton, candi, masjid dan rumah ibadah lainnya, atau dalam bentuk tulisan seperti prasasti, epigrafi dan naskah tulisan tangan.
Naskah tulisan tangan yang biasa disebut dengan manuskrip[1] dapat dikatakan sebagai salah satu representasi yang otoritatif dan otentik dari sejarah masa lampau karena memuat berbagai informasi, pemikiran, pengetahuan dan adat istiadat serta perilaku masyarakat dahulu.[2] Untuk itulah Hoesein Djayadiningrat pernah berpolemik dan menentang beberapa sejarawan Belanda yang menganggap naskah tidak layak untuk dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah[3] karena banyak berisikan mitos dan dongeng.[4] Sementara memolah milah antara kenyataan dan dongeng serta mitos yang menyelubungi, sebagaimana diakui oleh Guillot, adalah bukan pekerjaan yang mudah.[5]
Naskah klasik ini dapat ditemui di berbagai bagian wilayah Nusantara dengan bermacam-macam bahasa dan aksara. Ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa dan aksara Jawa, Sunda, Bali, Aceh, Sasak, Bugis, Melayu, dan bahkan ada yang menggunakan bahasa dan aksara asing seperti Arab. Adapun kandungan isi yang termaktub dalam naskah yang beredar dapat dikategorikan ke dalam hal-hal yang berhubungan dengan budaya, agama, etika, politik, dan filsafat hidup, serta dongeng bahkan mitos. Naskah yang bernafaskan agama, khususnya agama Islam baik yang menggunakan bahasa daerah maupun asing (Arab), banyak ditemukan yang kandungan isinya sangat variatif, dari hal yang berkenaan dengan fikih, aqidah, akhlak, dan tasawuf. Hal ini terjadi sejalan dengan proses islamisasi yang terjadi di bumi nusantara ini yang banyak melibatkan ulama-ulama produktif di zamannya.
Dari segi penyimpanan ada yang sudah dikonservasi dan disimpan di museum dan perpustakaan-perpustakaan baik dalam maupun luar negeri seperti Belanda, Inggris, Australia. Ada juga yang masih disimpan secara pribadi di masyarakat, baik itu merupakan koleksi pribadi ataupun merupakan warisan terun-temurun dari satu keluarga. Untuk naskah-naskah yang telah tersimpan di museum dan perpustakaan akan dapat tetap terawat dan terjaga dengan baik. Sedangkan naskah-naskah yang masih tersebar di tangan masyarakat sangat rentan menjadi punah dan rusak, untuk itu perlu dilakukan konservasi dan penelitian naskah.
Salah satu naskah klasik yang ditemukan di masyarakat adalah Asrâr al-Shalâh. Teks naskah ini terdapat dalam bundel naskah (naskah kompilasi) koleksi Abdurrahman Falughah yang berdomisili di Pontianak. Sejarah naskah ini, sebagaimana yang diceritakan kolektornya,[6] adalah hasil pembelian dari seorang yang mengaku dari Jawa Timur.
Dari hasil pembacaan singkat terhadap teks naskah yang penulisannya selesai tahun 1245 H (1830 M)[7] ini dapat dinyatakan bahwa teks naskah tersebut sangat signifikan untuk diteliti. Signifikansi tersebut dapat terlihat dari upaya penulis untuk menyuguhkan pembahasan shalat yang tidak hanya dari pendekatan legal-formal fikih an sich namun juga dari pendekatan tasawuf. Dan ini mencerminkan kecenderungan umum abad ke-17 dan ke-18 M di Nusantara, yakni pemaduan pemikiran fikih dengan pemikiran tasawuf.[8] Karakteristik ini memperlihatkan dan mempertegas pendapat bahwa tasawuf yang berkembang pada kedua abad tersebut didominasi oleh pengaruh kuat tasawuf Ghazalian yang sunni[9] di mana tasawuf dipagari dan dijaga ketat oleh aspek lahiriyah agama (syariat). Produk karya pemikiran yang diajarkan oleh para ulama tersebut telah memberikan corak pemahaman, tata nilai dan kultur Islam Indonesia sehingga dikenal sebagai Islam moderat dan toleran. Melalui telaah atas naskah ini, penelitian ini hendak memperlihatkan, meskipun dengan singkat dan sederhana, kecenderungan penulisan hukum Islam dengan pendekatan tasawuf di Nusantara.
Dari paparan latar belakang tersebut di atas dapat dibuat rumusan masalah yang ingin dicarikan jawabannya adalah Apa sajakah isi yang terkandung dalam teks naskah Asrâr al-Shalâh? Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, di samping untuk memperkaya informasi dan khazanah pemikiran intelektual Islam, adalah untuk mengetahui isi yang terkandung dalam teks naskah Asrâr al-Shalâh.
Menyangkut penelitian terdahulu, sejauh pengetahuan peneliti, kajian secara filologi atas naskah-naskah klasik telah banyak dilakukan peneliti. Namun yang berkaitan dengan naskah koleksi pribadi Abdurrahman Falugah baru satu teks naskah yang diteliti. Penelitian itu dilakukan atas teks naskah kitab Dzikir yang terdapat pada halaman 285-294 dari bundel naskah yang sama dengan penelitian yang dilakukan ini. Dari hasil penelitian itu, peneliti melakukan suntingan teks dan analisis isi dengan memperlakukan naskah sebagai naskah tunggal (codex unicus). Naskah tersebut berbicara tentang syarat-syarat berdzikir, adab tata cara berdzikir serta tingkatan-tingkatan berdzikir. Di samping itu teks naskah ini juga berbicara tentang seseorang yang ketika berada dalam tingkatan fana haruslah tetap mempertahankan diri dari godaan-godaan, sehingga ia tidak terjebak dalam ”pengakuan” penyatuan dengan Allah dan mengabaikan syariat.[10] Hal itu dipertegas dengan kutipan-kutipan dari ungkapan-ungkapan dan pernyataan para ulama akan kedudukan syariat yang jelas sebagai pengikat dari tasawuf.[11] Dari sini dapat dikatakan bahwa corak tasawuf yang dikembangkan dalam teks naskah ini adalah tasawuf Ghazalian yang sunni.
Penelitian naskah klasik yang terkait dengan pembahasan shalat adalah penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rafi’i. Rafi’i meneliti teks naskah al-Shalâh yang merupakan koleksi pribadi MA Tihami dari Banten dan didapat dari tangan puteranya, Helmi Faizi Bahrul Ulumi. Dari hasil penelitiannya, Rafi’i menyimpulkan bahwa teks naskah al-Shalâh merupakan naskah yang merepresentasikan harmonisasi antara syari’ah dan tasawuf. al-Ghazâlî adalah figur yang dengan sangat keras mengusahakan pengkompromian antara hukum Islam dengan tasawuf, yang kemudian diikuti oleh para sufi dan juga para ahli hukum generasi berikutnya termasuk yang tergabung dalam “jaringan Timur Tengah”. Demikian juga teks naskah tersebut sangat menekankan aspek sufistik pada amalan shalat; bahwa di samping dimensi syari’ah dari ibadah ini, yang juga harus menjadi konsen orang yang menjalankan shalat adalah dimensi dzikirnya. Sedangkan dari aspek hukumnya menunjukkan bahwa teks ini telah berbicara secara dewasa, melalui penggunaan dalil-dalil hukum, akan pilihan hukum mazhab Syafi’i. Dengan mendekati teks ini secara historis, penyandaran kepada mazhab Syafi’i  menjadi sesuatu yang lumrah dalam konteks perkembangan hukum Islam di Nusantara.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur dan Ringkasan Isi Naskah
Teks naskah yang berjudul Asrâr al-Shalâh ini menjelaskan tentang shalat yang terdiri dari pendahuluan, tiga bab yang dibagi menjadi beberapa pasal (sub-bab) dan diakhir dengan penutup yang menguraikan tentang kisah-kisah para ulul albab serta kolofon. Pendahuluan berisikan kata pengantar penulis mengenai identitas penulis dan bagaimana cara penulisan kitab ini. sedangkan bab pertama merupakan penjelasan tentang amalan-amalan lahir dari shalat. Bab ini terbagi dalam tiga pasal (sub-bab), di mana pasal pertama menerangkan tentang hal-hal yang harus dikerjakan (diperintahkan) bagi orang yang ingin shalat, seperti tata cara melakukan gerakan shalat dari mulai takbiratul ihram hingga salam. Pasal kedua mengenai hal-hal yang dilarang (yang tidak boleh) dilakukan oleh orang shalat, seperti berdiri dengan satu kaki, merapatkan kedua kaki, berjongkok ketika duduk antara dua sujud, shalat dalam keadaan ingin (kebelet) membuang hajat besar maupun kecil, juga shalat dalam keadaan sangat lapar atau marah. Dan pasal terakhir dari bab ini menjelaskan tentang perbedaan yang wajib dan sunnat dalam shalat, di mana sunnat terdiri dari sunnat ab`âd dan hai’ât. Kedua sunnat ini tidak boleh diremehkan sebab merupakan unsur penyempurna shalat.
Adapun bab dua menerangkan tata cara amalan batin dari shalat. Sebagaimana bab pertama, bab ini juga terdiri dari tiga pasal. Pasal pertama menjelaskan makna batin yang terkandung dalam shalat. Dengan memahami makna batin shalat, maka shalat akan terasa hidup. Sebab-sebab makna yang tersebut di atas merupakan pembahasan dari pasal kedua bab ini. Sedangkan pasal ketiga menjelaskan tentang obat yang bermanfaat bagi hadirnya hati dalam shalat. Atau dengan kata lain bagaimana cara menghadirkan hati sehingga shalat dapat dilaksanakan dengan khusu’.
Bab ketiga merupakan penjelasan tentang berbagai macam fadilah-fadilah (keutamaan-keutamaan) orang yang mengamalkannya. Empat pasal yang merupakan bagian dari bab ini secara berturut-turut menjelaskan tentang keutamaan orang yang menyempurnakan rukun shalat. Pasal ini merupakan pasal pertama yang memaparkan riwayat-riwayat hadits Nabi berkenaan keutamaan tersebut seperti kelak di akhirat orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya tidak akan dilihat oleh Allah. Kemudian orang yang menjaga pelaksanaan shalat lima waktu dengan menyempurnakan bersuci dan waktunya, maka bagi cahaya dan petunjuk di akhirat sedangkan yang menyia-nyiakannya akan rugi bersama Fir’aun dan Haman. Pasal kedua berbicara tentang keutamaan shalat berjamaah, yang di antaranya adalah bahwa pahala shalat berjamaah lebih besar dibandingkan shalat sendirian. Keutamaan yang lain adalah bahwa Allah akan menetapkan dua kebebasan bagi orang yang mengerjakan shalat-shalatnya selama empat puluh hari berjamaah dengan tidak ketinggalan satu takbiratul ihram, yakni kebebasan kemunafikan dan api neraka.  Keutamaan sujud merupakan pasal ketiga dari bab ini. Di antara keutamaan sujud itu adalah sujud akan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah dan menghapus dosa, juga bahwa syarat seorang mendapat syafaat Rasulullah dan termasuk orang yang menyertai beliau di dalam surga kelak adalah banyak-banyak bersujud. Dan terakhir pasal keempat yang menguraikan tentang keutamaan masjid dan tempat-tempat shalat.
Sebagai penutup teks naskah ini penulis menyuguhkan pembahasan khusus tentang kisah-kisah orang yang khusu’. Di sini penulis menguraikan kembali akan arti pentingnya penghindaran shalat dari berbagai penyakit, pengikhlasannya demi Allah, serta pelaksanaannya dengan mengikuti persyaratan-persyaratan batiniyah sebagaimana disebutkan pada bab tiga terdahulu.

Shalat dalam Perspektif Tasawur
Adapun kerangka teoritik yang menjadi frame pemikiran dari tulisan ini adalah bagaimana shalat dilihat dari perspektif tasawuf. Hakekat tasawuf[12] adalah akhlaq yang merupakan internalisasi dari ihsan. Hal itu dipertegas oleh ungkapan Ahmad al-Jurairi ketika ditanya tentang tasawuf, beliau mengatakan tasawuf adalah memasuki setiap akhlaq yang mulia dan keluar dari setiap akhlaq tercela.[13] Perwujudan dari konsep akhlaq ini dilakukan dengan cara penyucian jiwa yang dalam terminologi tasawuf biasa disebut dengan tazkiyah al-nafs, melalui serangkaian latihan-latihan (riyâdlah) dan memerangi (mujâhadah) nafsu rendah.
Konsep ini lebih dikenal dengan takhalli, tahalli  dan tajalli. Takhalli yaitu melepaskan diri dari ikatan-ikatan dan sifat-sifat tercela yang mengotori hati, di mana pada saat yang bersamaan hati dihiasi (tahalli) oleh hal-hal yang menjernihkan cermin hati yang dengan demikian dapat bertajalli atau memanifestasikan sifat-sifat dan asma Allah.
Proses bertakhalli, bertahalli, dan bertajalli tersebut harus melalui serangkaian olah batin dalam perjalanan menapaki tangga-tangga ruhani secara bertahap, tapak demi tapak. Hal ini dikarenakan jiwa manusia tidak dapat sampai pada hadirat Ilahi jika belum benar-benar dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggunya dan menjadi fanâ’ (lebur) dari sifat-sifatnya sendiri.
Ilustrasi yang sangat indah tentang proses perjalanan ini dilukiskan oleh Farîd al-Dîn al-A‏‏ththâr dalam kitabnya Manthiq al-Thair Buku tersebut menceritakan sekelompok burung, yang merupakan simbolisasi dari jiwa, melakukan perjalanan melalui tujuh lembah penyucian dipimpin oleh burung hudhud,  untuk menemui raja mereka, Simurgh, yang menciptakan segala macam burung dari sehelai bulunya “bulu keajaiban” yang jatuh di kegelapan malam.[14]
Sekelompok burung tersebut memulai perjalanan yang sangat jauh dan berat setelah mendapat arahan dan petunjuk dari sang pimpinan rombongan hudhud. Dimulai dari melewati lembah thalab, kemudian ke lembah isyiq, lalu ke lembah ma`rifat, lembah istignâ, lembah tauhîd, lembah hîrah, dan sampai pada lembah faqr wa ginâ’, di mana masing lembah mencerminkan tingkatan-tingkatan dari perjalanan itu.[15] Dalam perjalanan tersebut masing-masing burung menemui dan melihat rintangan-rintangan yang berbeda-beda sesuai dengan kesiapan masing-masing. Tidak sedikit yang menyerah dan mundur di tengah jalan. Sehingga yang benar-benar dapat menyelesaikan perjalanan tersebut hanya tiga puluh burung saja. Yaitu mereka yang sabar dan berusaha terus menerus untuk mengatasi rintangan-rintangan dan halangan-halangan perjalanan itu. Dan ketika mereka sudah berada di hadapan raja, Simurgh, jiwa mereka telah lebur dan hijab telah terbuka sehingga mereka dapat menyaksikan sang raja. Di sini mereka menyaksikan Si Mur Gh, tiga puluh burung atau mereka menyaksikan yang banyak dalam kesatuan. Dan ketika mereka berpaling menyaksikan diri mereka, yang mereka lihat adalah kesatuan dalam yang banyak, Simurgh. Hal ini membingungkan mereka sehingga dikatakan kepada mereka bahwa kehadiran ini adalah cermin dimana orang yang melihat kepada cermin itu tidak akan melihat kecuali dirinya sendiri.[16]
Pada intinya adalah orang yang dapat membuka tabir pemisah, dan dapat menghadirkan diri di hadapan al-Haq ialah orang yang telah menyucikan diri dari debu-debu maksiat dan melepaskan sekat-sekat material yang ada pada dirinya dan terbang di alam ruhani.
Salah satu diantara sekian banyak jalan dan cara untuk dapat hadir di hadirat Ilahi adalah shalat. Secara etimologi shalat bermakna berdoa,[17] mengingat, menyerah.[18] Secara khusus terminologi ini mengacu pada ibadah ritual khusus yang dilakukan pada waktu tertentu, paling tidak lima kali sehari, dan dengan cara tertentu pula seperti dimulai dari takbir dan ditutup salam. Shalat merupakan hubungan antara hamba dan Tuhannya[19] yang di dalamnya ditemukan maqâmât dan jalan menuju ke hadirat-Nya sejak awal hingga akhir, sebab sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits bahwa shalat adalah mi’râj orang-orang beriman.[20]
Untuk dapat bermi’râj dengan shalat, seorang mukmin harus berkonsentrasi penuh dan ingat terus menerus kepada Allah. Di sini berarti bahwa dia harus menghadirkan hatinya, sebab tanpa kehadiran hati dalam shalat, shalat tidak akan bermakna apa-apa. Tidak hanya itu dalam makna yang lebih luas, shalat seperti inipun bisa dilakukan setiap saat sepanjang hari yang disebut dengan “shalat hati”. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Abd al-Qâdir al-Jailâni, sebagaimana dikutif oleh Syed Ali Asyraf, ketika menafsirkan ayat 238 dari surat al-Baqarah, “Peliharalah shalatmu dan terutama shalat yang di tengah (wustha)”. Beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “shalat wustha” bukan shalat ashar akan tetapi shalat qalb (hati), yakni yang bersifat spiritual dan bukan fisik.[21] Sehingga shalat tidak hanya dilihat dari gerak fisiknya saja, akan tetapi disertai juga dengan amalan-amalan batin.

Perpaduan Fikih dan Tasawuf dalam Naskah Asrâr al-Shalâh
Dalam dunia keilmuan Islam, perpaduan dari berbagai disiplin ilmu telah dilakukan oleh para ulama. Keterkaitan satu ilmu dengan ilmu lain merupakan suatu keniscayaan, sebab sebuah ilmu tidak akan dapat berdiri sendiri tanpa ada hubungan dengan ilmu lainnya. Akan terdapat benang merah antara disiplin ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf jika kesemua ilmu tersebut dihubungkan.
Ulama yang paling sering disebut sebagai orang yang berusaha keras merekonsiliasi antara berbagai disiplin keilmuan Islam, khususnya antara fikih dan tasawuf, adalah al-Ghazali. Usaha beliau tersebut tercermin lewat buku yang menjadi magnum-opus beliau yaitu Ihyâ’ Ulûm al-Dîn.[22] Dalam buku tersebut beliau tidak hanya mengkaji permasalahan agama dari sudut pandang fikih an sich tetapi juga mengkajinya dari sudut pandang tasawuf. Sebagai contoh adalah shalat, pertama-tama beliau menerangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan shalat dari perspektif fikih, kemudian beliau menjelaskannya dari sudut pandang tasawuf. Beliau memandang bahwa jika shalat dipadukan antara keduanya akan memberikan kesempuranaan pemahaman dan penghayatan akan shalat itu.
Pola hubungan antara fikih dan tasawuf mengalami berbagai bentuk interaksi.[23] Di awal kemunculannya, tasawuf berinteraksi dengan fikih dalam pola yang akomodatif. Pola akamodatif yang dimaksud adalah pola saling menerima tanpa ada yang merasa tersaingi satu di antara keduanya atau adanya keserasian antara kedua disiplin ilmu ini dan terdapat usaha-usaha menghindari pertentangan. Pada masa ini ajaran tasawuf tidak memolah-milah antara keduanya dan bersifat toleran.[24]
 Sejalan dengan perkembangan jaman dan keilmuan dalam islam serta interaksi kaum muslimin dengan budaya lain dari luar, tasawuf yang pada mulanya hanya ditujukan untuk kehidupan yang zuhud dan moral, mulai mengembangkan konsep hubungan antara manusia dengan tuhannya tidak terbatas pada ma’rifat dan kedekatan akan tetapi kebersatuan dengan Tuhan seperti konsep al-ittihad dan hulul. Konsep ini telah melahirkan pola hubungan antagonistik antara fikih dan tasawuf, di mana antara yang satu dengan lainnya saling bertentangan dan saling bersitegang mengklaim bahwa salah satu di antara keduanya telah sesat.[25] Pola hubungan antagonistik ini telah melahirkan konflik yang tidak hanya pada dataran wacana, tetapi melainkan merambah juga pada dataran konflik fisik yang telah memakan korban dengan dihukum matinya al-Hallaj, dikarenakan konsep al-hululnya. Pada pola ini hubungan fikih dan tasawuf sangat kelabu.
Seperti dipaparkan di atas bahwa al-Ghazali merupakan figur yang dapat mendamaikan konflik tersebut dengan usahanya untuk memadukan antara fikih dan tasawuf. Beliau mencoba memungsikan fikih dalam tasawuf dan tasawuf dalam fikih, dalam arti bahwa terdapat fungsi fikih sebagai landasan dalam tasawuf dan fungsi tasawuf dalam fikih adalah memberikan makna penghayatan fikih agar tidak terlihat atau terkesan kaku sehingga terjadi integritas yang berkeseimbangan (equilibrium). Dalam pada itu, hubungan fikih dan tasawuf saat itu bersifat fungsional atau berpolakan hubungan fungsional.[26]
Pola yang ketiga ini sangat terlihat jelas pada teks naskah Asrâr al-Shalâh ini. Teks naskah ini berbicara masalah shalat tidak hanya dilihat dari sudut pandang fikih, tetapi juga dilihat dan dibahas dalam sudut pandang tasawuf. Hal itu terbaca dari paparan penulis yang menjelaskan shalat pertama kali dengan mengetengahkan hal-hal yang harus dilaksanakan dari cara-cara melakukan gerakan fisik dan bacaan shalat sejak takbiratul ihram sampai salam. Begitu juga dengan hal-hal yang tidak boleh dilakukan bagi seorang yang melaksanakan shalat seperti berdiri di atas satu kaki, menempelkan kaki yang satu dengan yang lain, duduk di antara dua sujud dengan berjongkok, memasukkan kedua tangan ke dalam baju, mengangkat pakaian (sarung, celana, dan sebagainya) ketika hendak sujud, baik dari arah depan atau belakang, berkecak pinggang, menyambung antara bacaan al-Fatihah dan takbiratul Ihram serta antara ruku’ dan bacaan surat, shalat dalam keadaan sangat ingin (kebelet) buang air besar atau kecil dan dalam keadaan amat lapar.
Selanjutnya penulis menjelaskan tentang perbedaan antara hal-hal mengenai yang wajib dan sunnat dari amalan-amalan lahir tersebut dijelaskan. Dan seperti kebanyakan ulama fikih, penulis juga menjelaskan pembagian sunnat shalat menjadi sunnat ab`âd dan hai’ât. Keseluruhan sunat shalat tersebut tidak boleh dilupakan karena merupakan unsur kesempurnaan shalat. Rukun-rukun shalat ibarat jantung bagi manusia, sunnat ab`âd ibarat kedua tangan, kaki, telingan, mata, dan organ vital lainnya. Sedangkan sunnat hai’ât ibarat bagian tubuh yang dapat memperindah dan mempercantik badan seperti alis, jenggot warna kulit dan sebagainya. Ketidak-adaan bagian-bagian tubuh seperti kedua tangan, kaki, dan bagaian yang memperindah tubuh tidak menjadikan manusia mati. Sehingga beliau menganalogikan orang yang hanya mencukupkan rukun-rukun shalat ibarat orang yang menghadiah seorang hamba yang tidak bertangan, berkaki, bertelinga kepada seorang raja.[27]
Namun demikian, penulis menyatakan bahwa seluruh amalan-amalan lahir tersebut tidak akan ada manfaat dan gunanya jika tidak dibarengi dengan amalan-amalan batin untuk dapat memaknai dan menghayati shalat.[28] Di sini penulis mencoba memungsikan tasawuf dalam pelaksanaan gerakan fisik dan bacaan shalat. Sejalan dengan itu, bahwa kesejatian shalat menurut Sunan Bonang tidak terletak pada tidak pernah absennya seseorang dalam pelaksanaan shalat lima waktu sehari semalam semata, akan tetapi terletak pada pemaknaan, penghayatan, dan pemahaman hakikat amalan-amalan tersebut.[29]
Demi memahami dan memaknai serta menghayati shalat, perlu diketahui hal-hal yang berkaitan dengan amalan hati yakni, khusyu`, kehadiran hati,  pemahaman (tafahhum), penghormatan (ta`zhîm), rasa takut yang disertai pengagungan (haibah), harapan (rajâ’), dan rasa malu (hayâ’).
Khusyu` adalah mengumpulkan seluruh keinginan dan perhatian yang kuat (himmah) dalam shalat dan memalingkan diri dari selain shalat serta memikirkan/merenungkan bacaan dan dzikir yang diucapkan dalam shalatnya, atau paling tidak ia memikirkan perkara akhirat.[30] Khusyu` adalah sesuatu yang berasal dari dalam hati yang tercermin dalam ketenangan, ketundukan, kelembutan, ketakutan dan kehinaan kepada Allah.[31] Dan untuk dapat khusyu` diperlukan kehadiran hati, anggota badan yang tenang, dan keberpalingan dari selain shalat.[32]  Kekhusyu`an adalah keharusan dalam shalat sebab hakekat shalat adalah dzikir (mengingat). Seorang yang mengingat tentulah bukan orang yang lalai. Shalat orang yang lalai tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkan, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah riwayat ”barang siapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, ia tidak bertambah dengan Allah kecuali bertambah jauh”.
Hudlur al-qalb atau kehadiran hati, yakni kosongnya hati dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang dikerjakannya, ataupun diucapkannya. Kesadarannya tentang perbuatan dan ucapannya tak pernah berpisah dari kedua-duanya, pikirannya pun tak pernah melayang, kecuali di sekitar kedua-duanya.[33] Kehadiran hati disebabkan oleh adanya haibah (rasa takut dengan pengagungan), karena hati itu akan selalu mengikuti keinginan yang kuat dan tidak akan pernah hadir kecuali pada sesuatu yang dianggap penting dan menjadi keinginan yang kuat. ketika hati tidak hadir dalam shalat maka pada hakekatnya tidak ada pengagungan pada shalat itu.[34] Maka tidak ada jalan kecuali memalingkan himmah (keinginan yang kuat) pada shalat, akan tetapi himmah-nya tak akan terpaling kesana sebelum ia menyadari bahwa tercapainya tujuan utama hidupnya tergantung pada salat.
Tafahhum, yakni upaya pemahaman secara mendalam tentang makna yang terkandung dalam suatu ucapan. Sebab adakalanya hati seseorang hadir bersama suatu ucapan tetapi tidak hadir bersama ’makna’ ucapan itu.[35] Seseorang akan bisa memahami tentang gerak dan bacaan shalatnya disebabkan oleh selain kehadiran hatinya adalah pemusatan pikiran dan pencurahan perhatian terus menerus untuk dapat menyerap makna yang terkandung di setiap gerakan dan ucapan dalam salat. Caranya ialah penghadiran hati beserta pemusatan pikiran  serta bersungguh-sungguh dalam menolak angan-angan mengganggu yang melintas di kepala. Sedangkan cara menghilangkan bayangan dan angan-angan yang melintas yang menyibukkan pikiran ialah membuang sumber-sumber penyebabnya.[36]
Penghormatan dan pengangungan (ta`zhîm).[37] Di samping seseorang itu harus menghadirkan hatinya dan memahami ucapannya, dia juga harus mengagungkan Allah swt. Hal ini akan berpengaruh dalam hati dengan munculnya rasa takut, dan kekhawatiran, serta kemuliaan. Rasa pengagungan ini disebabkan oleh pengetahuan akan kebesaran dan keagungan Allah swt dan pengetahuan akan kedudukannya sebagai seorang hamba.[38]
Adapun haibah adalah rasa takut yang berasal dari rasa penghormatan (ta`zhîm) dikarenakan oleh pengetahuan akan kekuasaan Allah, keperkasaan-Nya, kekuatan kehendak-Nya dan ketidakpedulian-Nya.[39] Sedangkan rajâ’ (pengharapan) adalah bahwasanya seorang yang melakukan shalat haruslah tetap berharap mendapatkan pahala shalatnya sebagaimana ia juga takut dari siksa-Nya karena ketidak mampuannya menunaikannya dengan baik.[40] Penyebabnya adalah pengetahuannya akan kelembutan dan kasih sayang Allah SWT, kedermawanan-Nya, anugerah-anugerah-Nya yang melimpah, keindahan ciptaan-Nya, serta keyakinan akan kebenaran firman-Nya dalam menjanjikan surga bagi yang melaksanakan salat.[41] Dan yang terakhir adalah rasa malu (hayâ’) suatu rasa yang timbul karena ketidak-mampuan untuk menunaikan shalat dengan baik dan perasaan berdosa. Perasaan ini akan bertambah kuat dengan bertambahnya pengetahuannya akan kekurangan-kekurangan jiwanya, penyakit-penyakitnya, kurang ikhlasnya, serta kecenderungannya pada perbuatan dosa.[42]
Amalan-amalan batin yang tersebut di atas adalah dalam rangka mendapatkan kekhusyukan dan dapat menghadirkan hati yang berujung pada peningkatan kualitas shalat. Kekhusyukan dan kehadiran hati merupakan syarat batin yang harus dipenuhi. Sebab secara substansi, shalat adalah wahana pengalaman langsung akan Tuhan (musyâhadah) dan munajat; cerminan dialog mesra antara dengan Tuhan.[43] Dialog yang harus keluar dari kesadaran hati sehingga terjadi komunikasi yang merupakan respon merespon antara kedua belah pihak. Dan juga shalat harus ditegakkan untuk mengingat Allah, sebagaiman firman-Nya ”dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”[44] dan karenanya dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ini bermakna bahwa dalam shalat seluruh eksistensi terlihat dalam satu peristiwa yang mencerahkan, antara kepasrahan hati yang penuh dedikasi dan gerak tubuh.[45] Sebagai implikasinya adalah bahwa orang yang selalu ingat dan berhubungan serta berdialog secara sadar dengan Tuhan tentunya akan menjadi cerminan sifat sang kekasih, di mana antara gerak lidah, gerah hati, dan gerak tubuh terdapat kesesuaian.
Menurut al-Ghazali inilah shalat yang memenuhi persyaratan[46] sebagai shalat yang baik. Shalat ini berfungsi memancarkan cahaya-cahaya di dalam hati, yang selanjutnya akan merupakan kunci bagi ilmu-ilmu mukasyafah. Para wali Allah banyak yang disingkapkan rahasia-rahasia kerajaan langit dan bumi dan rahasia-rahasia ketuhanan dalam shalatnya, terlebih lagi di waktu sujud.[47] Mukasyafah seorang hamba tergantung pada kadar kejernihan hatinya dari kotoran-kotoran duniawi, dan akan berbeda-beda pada tingkat kekuatan dan kelemahannya, banyak dan sedikitnya, serta kejelasan dan keburamannya.[48]
Jika dilihat penjelasan tersebut, baik dari hal-hal yang berkaitan dengan amalan lahir maupun amalan batin, maka nampak sekali bahwa pembahasannya sangat dipengaruhi oleh pembahasan al-Ghazali dalam kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn khususnya bab Asrâr al-Shalâh. Atau secara intertekstual telah terjadi proses pinjam-meminjam dalam hal ini teks naskah Asrâr al-Shalâh meminjam dan dipengaruhi oleh karya al-Ghazali tersebut. Dan itupun terbukti dengan pengakuan penulis yang mengatakan pada pendahuluan bahwa tulisan ini disusun dari kumpulan tulisan ulama-ulama ahli ibadah. Lagi-lagi ini menegaskan pengaruh tasawuf Ghazalian yang sunni di nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 masehi.

SIMPULAN
Secara umum isi yang terkandung dalam teks naskah Asrâr alShalâh membahas tentang kajian shalat yang dielaborasikan antara disiplin ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Di sini tampak jelas pengaruh tasawuf ”Ghazalian” dalam memaparkan pokok bahasan dari tiap-tiap bab dan sub-bab (pasal), yang mencoba memfungsikan fikih dalam tasawuf dan atau sebaliknya. Walaupun ketiadaan khusyuk dalam shalat, menurut fikih, tidak membatalkan shalat. Akan tetapi menurut tasawuf ketidak khusyukan dan ketidak hadiran hati dalam shalat menjadikan shalat itu mati dan tidak menyampaikan ke hadirat Ilahi.

DAFTAR PUSTAKA
Afîfi, Abu al-`Elâ, Fushûsh al-Hikam wa Ta`lîqât `Alaihâ Jilid I (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabi, 1980).
Afifi, Abu al-Elâ, al-Tashawuf; al-Tsaurah al-Rûhiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma´ârif, 1963), Cet. I.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989).
al-Haddad, Mu’min Fathi’, Khusyuk Bukan Mimpi, terj. Ahmad Syakirin (Solo: Aqwam, 2007).
al-Qusyairi, Abdul Karim ibn Hawazan, ar-Risâlah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Beirut: Dâr al-Khair, t.t.).
al-Thusi, Abu Nashr al-Sarrâj, al-Luma’ fi Ilm al-Tashawuf, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Amstrong, Amatullah, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memahami Dunia Tasawuf, terj. M.S. Nasrullah & Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1996).
Anshori, Islam Esoteris: Studi terhadap Naskah Serat Syekh Siti Jenar, makalah disampaikan pada Temu Riset Badan Litbang Depag RI bekerjasama dengan Lembaga Penelitian IAIN Mataram Tahun 2007 di Hotel Lombok Raya Mataram Lombok.
Asyraf, Syed Ali, “Makna Batin Ritus-Ritus Islam: Shalat, Haji, Puasa, Jihad” dalam Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopei Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2002).
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia  (Bandung: Mizan, 1996).
Baried, Siti Baroroh, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: BPPF Seksi Filologi Fak. Sastra UGM, 1994).
Chodjim, Achmad, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).
Green, Michael, Shalat di Mata Sufi: Anugrah Terbesar dari Allah, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000).
Guillot, Claude, & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008).
Ikram, Achadiati, Filologia Nusantara (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997).
Ma`luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, cet. Ke-28, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986) Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Abd. Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1992).
Mukhlis, Kitab Tarjamat al-‘Alamat al-‘Alamat (Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Analisis Isi Berdasarkan Naskah No. CXI/23 Koleksi Museum Samparaja Bima), Laporan Hasil Penelitian Lemlit IAIN Mataram Tahun 2005 tidak diterbitkan.
Supriayadi,  Dedi, Fikih Bernuansa Tasawuf al-Ghazali; Perpaduan antara Syariat dan Hakekat (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Tjandrasasmita, Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006).


[1] Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: BPPF Seksi Filologi Fak. Sastra UGM, 1994), 6.
[2] Mukhlis, Kitab Tarjamat al-‘Alamat al-‘Alamat (Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Analisis Isi Berdasarkan Naskah No. CXI/23 Koleksi Museum Samparaja Bima), Laporan Hasil Penelitian Lemlit IAIN Mataram Tahun 2005 tidak diterbitkan, 1,
[3] Achadiati Ikram, Filologia Nusantara (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997), 7.
[4] Uka Tjandrasasmita Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006), 17.
[5] Claude Guillot & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008), 7.
[6] Abdurrahman Falughah, Wawancara tanggal 10 Januari 2008 di Pontianak.
[7] Tahun penulisan ini terlihat dan terbaca dalam kolofon yang terdapat pada halaman terakhir teks naskah ini. Untuk mengonversi tahun hijriyah ke tahun masehi, peneliti menggunakan program “Shollu”.
[8] Usaha rekonsiliasi antara fikih dan tasawuf lebih sering disebut dengan istilah Neo-Sufisme. Istilah ini menurut Azra dipopulerkan oleh Fazrul Rahman. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia  (Bandung: Mizan, 1996), 109.
[9] Istilah “Tasawuf Ghazalian” dilontarkan oleh M. Afif Anshori dengan tujuan untuk tidak terjebak ke dalam dikotomi Tasawuf Sunni dan Falsafi. Lihat Anshori, Islam Esoteris: Studi terhadap Naskah Serat Syekh Siti Jenar, makalah disampaikan pada Temu Riset Badan Litbang Depag RI bekerjasama dengan Lembaga Penelitian IAIN Mataram Tahun 2007 di Hotel Lombok Raya Mataram Lombok, 24.
[10] Dalam teks naskah tersebut sangat jelas dinyatakan bahwa “Barang siapa yang mengaku telah mengetahui hakekat dan meninggalkan syari’at, maka dia itu adalah pendusta dan perbuatannya adalah suatu kezindikan”.
[11] Pernyataan ulama yang sangat jelas tentang kedudukan syariat bagi tasawuf adalah ungkapan al-Qusyairi dalam ar-Risâlah-nya yaitu “Setiap syariat yang tidak didukung oleh hakekat tidak akan diterima, dan setiap hakekat yang tidak terikat dengan syariat tentu tidak ada hasilnya”. Lihat, Abdul Karim ibn Hawazan al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Beirut: Dâr al-Khair, t.t.), 46.
[12] Kata ini menurut al-Qusyairi tidak memiliki derivasi kata (ishtiqâq) Arab yang dapat diturunkan dari sebutan sufi. Penafsiran yan paling masuk akal adalah bahwa sufi serupa dengan gelar. Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah, 279.
[13] Ibid., 280
[14]Abu al-Elâ Afifi, al-Tashawuf; al-Tsaurah al-Rûhiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma´ârif, 1963), Cet. I, 136.
[15] Dalam terminologi tasawuf tingkatan lembah penyucian tersebut disebut maqâmât atau tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh seorang salik dalam perjalanannya menuju ke hadirat Ilahi. Maqâmât (tingkatan-tingkatan) yang disebutkan al-Aththar dalam kisah tersebut merujuk pada tujuh tingkatan pembagian maqâmât yang disebutkan oleh al-Thusi dalam kitabnya al-Luma’ fi Ilm al-Tashawuf. Lihat Abu Nashr al-Sarrâj al-Thusi, al-Luma’ fi Ilm al-Tashawuf, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1960).
25Afifi, al-Tashawuf …, 136.
[17] Luis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, cet. Ke-28, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), 434
[18] Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Abd. Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1992), 269.
[19] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memahami Dunia Tasawuf, terj. M.S. Nasrullah & Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1996), 259.
[20] Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, 269.
[21] Syed Ali Asyraf, “Makna Batin Ritus-Ritus Islam: Shalat, Haji, Puasa, Jihad” dalam Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopei Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2002), 152.
[22] Dalam penelitian ini kitab yang digunakan sebagai rujukan adalah Ihya’ Ulum al-Dîn  Jilid I yang diterbitkan oleh Dar al-Fikr Beirut tahun 1991.
[23] Dedi Supriayadi,  Fikih Bernuansa Tasawuf al-Ghazali; Perpaduan antara Syariat dan Hakekat (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 97.
[24] Ibid., 101.
[25] Ibid., 103.
[26] Ibid., 108.
[27] Teks Naskah Asrâr al-Shalâh, 23-29.
[28] Ini tidak berarti bahwa shalat yang hanya mencukup amalan-amalan lahir tidak sah atau batal. Naskah Teks Asrâr al-Shalâh, 68.
[29] Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 152.
[30] Teks Naskah Asrâr al-Shalâh, 31
[31] Mu’min Fathi’ al-Haddad, Khusyuk Bukan Mimpi, terj. Ahmad Syakirin (Solo: Aqwam, 2007), 17.
[32] Ibid., 38
[33] Ibid., 32.
[34] Ibid., 38.
[35] Ibid., 34.
[36] Ibid., 39.
[37] Ibid., 35.
[38] Ibid., 40.
[39] Ibid.
[40] Ibid., 36.
[41] Ibid., 41.
[42] Ibid.
[43] Abu al-`Elâ `Afîfi, Fushûsh al-Hikam wa Ta`lîqât `Alaihâ Jilid I (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabi, 1980), 222. Lihat juga Michael Green, Shalat di Mata Sufi: Anugrah Terbesar dari Allah, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 41.
[44] Qs. °âhâ (20): 14.
[45] Green, Shalat di Mata Sufi…, 38.
[46] Ada tiga persyaratan menurut al-Ghazali sebagai syarat shalat yang baik; a) penghindaran shalat dari berbagai penyakit; b) pengikhlasan hanya untuk Allah; c) dan pelaksanaannya mengikuti syarat-syarat batiniyah yang enam tersebut. Lihat, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), 200.
[47] Rasululah dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa saat-saat seorang hamba berada paling dekat dengan tuhannya adalah di saat ia sujud (hadits).
[48]Ibid.

1 komentar:

  1. Artikel ini pernah diterbitkan oleh Jurnal Penelitian Keislaman Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Mataram. Jurnal Penelitian Keislaman Vol. 6, No. 1, Desember 2009: 53-76.

    BalasHapus

Akulah Angin...Engkaulah Api

  Akulah Angin... Engkaulah Api   Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja! Gelorakan jiwa kita, Kekasih-sebentar saja! Dari Konya pancarkan ...