SHALAT SUFISTIK
MENURUT
NASKAH ASRAR AL-SHALAH
Abstrak: Naskah tulisan
tangan dengan topik tasawuf merupakan salah
satu topik naskah yang banyak
beredar di Indonesia, salah satu
di antaranya adalah Asrar al-Shalah. Penelitian ini bertujuan menguak isi dari teks naskah tersebut. Melalui metode filologi dan analisis
hermeneutik ditemukan bahwa kandungan teks naskah
ini berbicara tentang shalat
yang tidak hanya dilihat dari sudut pandang fikih namun juga dalam
perspektif tasawuf. Hal itu dapat terlihat dari uraian penulis yang menyaratkan amalan batin demi kesempumaan
shalat. Dengan amaJan batin
ini seseorang akan menghidupkan dan menjadikan
shalat lebih bermakna dan mendatangkan
kekhusyukan, sehingga dia dapat bermi'raj
dengan shalatnya. Perpaduan antara
kerangka pikir fikih dengan kerangka pikir tasawuf ini merupakan
kecenderungan pemikiran yang berkembang pada abad ke-17 dan ke-18 di
Nusantara sebagai akibat dari pengaruh tasawuf al-Ghazali Naskah ini. secara intertekstual, banyak dipengaruhi oleh karya al-Ghazali Ihya 'Ulum aI-Din.
Kala
kunci:
shalat, fikih, tasawuf, khusyu', mi'rāj
PENDAHULUAN
“Bhineka Tunggal
Ika” adalah semboyan yang menghiasi lambang negara dan selalu didengungkan di
seluruh daratan republik ini. Semboyan ini mencerminkan keragaman budaya bangsa
yang terdapat di bumi pertiwi. Kenyataannya memang demikian, persada ini sangat
kaya akan budaya-budaya karena terdiri dari berbagai suku bangsa.
Kekayaan ragam
budaya merupakan warisan yang tak ternilai harganya dari nenek moyang bangsa
ini. Dan itu dapat ditelusuri melalui artefak-artefak peninggalan masa lalu
yang telah ditemukan. Artefak tersebut dapat berupa peninggalan sejarah dalam
bentuk bangunan seperti keraton, candi, masjid dan rumah ibadah lainnya, atau
dalam bentuk tulisan seperti prasasti, epigrafi dan naskah tulisan tangan.
Naskah tulisan
tangan yang biasa disebut dengan manuskrip[1]
dapat dikatakan sebagai salah satu representasi yang otoritatif dan otentik
dari sejarah masa lampau karena memuat berbagai informasi, pemikiran,
pengetahuan dan adat istiadat serta perilaku masyarakat dahulu.[2]
Untuk itulah Hoesein Djayadiningrat pernah berpolemik dan menentang beberapa
sejarawan Belanda yang menganggap naskah tidak layak untuk dijadikan sebagai
salah satu sumber sejarah[3]
karena banyak berisikan mitos dan dongeng.[4]
Sementara memolah milah antara kenyataan dan dongeng serta mitos yang menyelubungi,
sebagaimana diakui oleh Guillot, adalah bukan pekerjaan yang mudah.[5]
Naskah klasik ini
dapat ditemui di berbagai bagian wilayah Nusantara dengan bermacam-macam bahasa
dan aksara. Ada yang ditulis dengan menggunakan
bahasa dan aksara Jawa, Sunda, Bali, Aceh,
Sasak, Bugis, Melayu, dan bahkan ada yang menggunakan bahasa dan aksara asing
seperti Arab. Adapun kandungan isi yang termaktub dalam naskah yang beredar
dapat dikategorikan ke dalam hal-hal yang berhubungan dengan budaya, agama,
etika, politik, dan filsafat hidup, serta dongeng bahkan mitos. Naskah yang
bernafaskan agama, khususnya agama Islam baik yang menggunakan bahasa daerah
maupun asing (Arab), banyak ditemukan yang kandungan isinya sangat variatif,
dari hal yang berkenaan dengan fikih, aqidah, akhlak, dan tasawuf. Hal ini
terjadi sejalan dengan proses islamisasi yang terjadi di bumi nusantara ini
yang banyak melibatkan ulama-ulama produktif di zamannya.
Dari segi
penyimpanan ada yang sudah dikonservasi dan disimpan di museum dan perpustakaan-perpustakaan
baik dalam maupun luar negeri seperti Belanda, Inggris, Australia.
Ada juga yang
masih disimpan secara pribadi di masyarakat, baik itu merupakan koleksi pribadi
ataupun merupakan warisan terun-temurun dari satu keluarga. Untuk naskah-naskah
yang telah tersimpan di museum dan perpustakaan akan dapat tetap terawat dan
terjaga dengan baik. Sedangkan naskah-naskah yang masih tersebar di tangan
masyarakat sangat rentan menjadi punah dan rusak, untuk itu perlu dilakukan
konservasi dan penelitian naskah.
Salah satu naskah
klasik yang ditemukan di masyarakat adalah Asrâr al-Shalâh. Teks naskah
ini terdapat dalam bundel naskah (naskah kompilasi) koleksi Abdurrahman
Falughah yang berdomisili di Pontianak.
Sejarah naskah ini, sebagaimana yang diceritakan kolektornya,[6]
adalah hasil pembelian dari seorang yang mengaku dari Jawa Timur.
Dari hasil
pembacaan singkat terhadap teks naskah yang penulisannya selesai tahun 1245 H
(1830 M)[7]
ini dapat dinyatakan bahwa teks naskah tersebut sangat signifikan untuk diteliti.
Signifikansi tersebut dapat terlihat dari upaya penulis untuk menyuguhkan
pembahasan shalat yang tidak hanya dari pendekatan legal-formal fikih an sich
namun juga dari pendekatan tasawuf. Dan ini mencerminkan kecenderungan umum
abad ke-17 dan ke-18 M di Nusantara, yakni pemaduan pemikiran fikih dengan
pemikiran tasawuf.[8]
Karakteristik ini memperlihatkan dan mempertegas pendapat bahwa tasawuf yang
berkembang pada kedua abad tersebut didominasi oleh pengaruh kuat tasawuf
Ghazalian yang sunni[9]
di mana tasawuf dipagari dan dijaga ketat oleh aspek lahiriyah agama (syariat).
Produk karya pemikiran yang diajarkan oleh para ulama tersebut telah memberikan
corak pemahaman, tata nilai dan kultur Islam Indonesia sehingga dikenal sebagai
Islam moderat dan toleran. Melalui telaah atas naskah ini, penelitian ini
hendak memperlihatkan, meskipun dengan singkat dan sederhana, kecenderungan
penulisan hukum Islam dengan pendekatan tasawuf di Nusantara.
Dari paparan latar
belakang tersebut di atas dapat dibuat rumusan masalah yang ingin dicarikan jawabannya
adalah Apa sajakah isi yang terkandung dalam teks naskah Asrâr al-Shalâh? Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, di samping
untuk memperkaya informasi dan khazanah pemikiran intelektual Islam, adalah untuk
mengetahui isi yang terkandung dalam teks naskah Asrâr al-Shalâh.
Menyangkut penelitian terdahulu, sejauh pengetahuan peneliti, kajian secara
filologi atas naskah-naskah klasik telah banyak dilakukan peneliti. Namun yang
berkaitan dengan naskah koleksi pribadi Abdurrahman Falugah baru satu teks
naskah yang diteliti. Penelitian itu dilakukan atas teks naskah kitab Dzikir
yang terdapat pada halaman 285-294 dari bundel naskah yang sama dengan
penelitian yang dilakukan ini. Dari hasil penelitian itu, peneliti melakukan
suntingan teks dan analisis isi dengan memperlakukan naskah sebagai naskah
tunggal (codex unicus). Naskah tersebut berbicara tentang syarat-syarat
berdzikir, adab tata cara berdzikir serta tingkatan-tingkatan berdzikir. Di
samping itu teks naskah ini juga berbicara tentang seseorang yang ketika berada
dalam tingkatan fana haruslah tetap mempertahankan diri dari godaan-godaan,
sehingga ia tidak terjebak dalam ”pengakuan” penyatuan dengan Allah dan
mengabaikan syariat.[10] Hal itu dipertegas dengan
kutipan-kutipan dari ungkapan-ungkapan dan pernyataan para ulama akan kedudukan
syariat yang jelas sebagai pengikat dari tasawuf.[11] Dari sini dapat dikatakan
bahwa corak tasawuf yang dikembangkan dalam teks naskah ini adalah tasawuf
Ghazalian yang sunni.
Penelitian naskah klasik yang terkait dengan pembahasan shalat adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rafi’i. Rafi’i meneliti teks naskah al-Shalâh
yang merupakan koleksi pribadi MA Tihami dari Banten dan didapat dari tangan
puteranya, Helmi Faizi Bahrul Ulumi. Dari hasil penelitiannya, Rafi’i
menyimpulkan bahwa teks naskah al-Shalâh merupakan naskah yang merepresentasikan
harmonisasi antara syari’ah dan tasawuf. al-Ghazâlî adalah figur yang dengan
sangat keras mengusahakan pengkompromian antara hukum Islam dengan tasawuf,
yang kemudian diikuti oleh para sufi dan juga para ahli hukum generasi
berikutnya termasuk yang tergabung dalam “jaringan Timur Tengah”. Demikian juga
teks naskah tersebut sangat menekankan
aspek sufistik pada amalan shalat; bahwa di samping dimensi syari’ah dari
ibadah ini, yang juga harus menjadi konsen orang yang menjalankan shalat adalah
dimensi dzikirnya. Sedangkan dari aspek hukumnya menunjukkan bahwa teks
ini telah berbicara secara dewasa, melalui penggunaan dalil-dalil hukum, akan
pilihan hukum mazhab Syafi’i. Dengan mendekati teks ini secara historis,
penyandaran kepada mazhab Syafi’i
menjadi sesuatu yang lumrah dalam konteks perkembangan hukum Islam di
Nusantara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur dan Ringkasan Isi Naskah
Teks naskah yang berjudul Asrâr al-Shalâh ini menjelaskan tentang
shalat yang terdiri dari pendahuluan, tiga bab yang dibagi menjadi beberapa
pasal (sub-bab) dan diakhir dengan penutup yang menguraikan tentang kisah-kisah
para ulul albab serta kolofon. Pendahuluan berisikan kata pengantar penulis mengenai
identitas penulis dan bagaimana cara penulisan kitab ini. sedangkan bab pertama
merupakan penjelasan tentang amalan-amalan lahir dari shalat. Bab ini terbagi
dalam tiga pasal (sub-bab), di mana pasal pertama menerangkan tentang hal-hal
yang harus dikerjakan (diperintahkan) bagi orang yang ingin shalat, seperti
tata cara melakukan gerakan shalat dari mulai takbiratul ihram hingga salam.
Pasal kedua mengenai hal-hal yang dilarang (yang tidak boleh) dilakukan oleh
orang shalat, seperti berdiri dengan satu kaki, merapatkan kedua kaki,
berjongkok ketika duduk antara dua sujud, shalat dalam keadaan ingin (kebelet)
membuang hajat besar maupun kecil, juga shalat dalam keadaan sangat lapar atau
marah. Dan pasal terakhir dari bab ini menjelaskan tentang perbedaan yang wajib
dan sunnat dalam shalat, di mana sunnat terdiri dari sunnat ab`âd dan
hai’ât. Kedua sunnat ini tidak boleh diremehkan sebab merupakan unsur
penyempurna shalat.
Adapun bab dua
menerangkan tata cara amalan batin dari shalat. Sebagaimana bab pertama, bab
ini juga terdiri dari tiga pasal. Pasal pertama menjelaskan makna batin yang
terkandung dalam shalat. Dengan memahami makna batin shalat, maka shalat akan
terasa hidup. Sebab-sebab makna yang tersebut di atas merupakan pembahasan dari
pasal kedua bab ini. Sedangkan pasal ketiga menjelaskan tentang obat yang
bermanfaat bagi hadirnya hati dalam shalat. Atau dengan kata lain bagaimana
cara menghadirkan hati sehingga shalat dapat dilaksanakan dengan khusu’.
Bab ketiga
merupakan penjelasan tentang berbagai macam fadilah-fadilah
(keutamaan-keutamaan) orang yang mengamalkannya. Empat pasal yang merupakan
bagian dari bab ini secara berturut-turut menjelaskan tentang keutamaan orang
yang menyempurnakan rukun shalat. Pasal ini merupakan pasal pertama yang
memaparkan riwayat-riwayat hadits Nabi berkenaan keutamaan tersebut seperti
kelak di akhirat orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya tidak akan
dilihat oleh Allah. Kemudian orang yang menjaga pelaksanaan shalat lima waktu dengan
menyempurnakan bersuci dan waktunya, maka bagi cahaya dan petunjuk di akhirat
sedangkan yang menyia-nyiakannya akan rugi bersama Fir’aun dan Haman. Pasal
kedua berbicara tentang keutamaan shalat berjamaah, yang di antaranya adalah
bahwa pahala shalat berjamaah lebih besar dibandingkan shalat sendirian.
Keutamaan yang lain adalah bahwa Allah akan menetapkan dua kebebasan bagi orang
yang mengerjakan shalat-shalatnya selama empat puluh hari berjamaah dengan
tidak ketinggalan satu takbiratul ihram, yakni kebebasan kemunafikan dan api
neraka. Keutamaan sujud merupakan pasal
ketiga dari bab ini. Di antara keutamaan sujud itu adalah sujud akan mengangkat
derajat seseorang di sisi Allah dan menghapus dosa, juga bahwa syarat seorang
mendapat syafaat Rasulullah dan termasuk orang yang menyertai beliau di dalam
surga kelak adalah banyak-banyak bersujud. Dan terakhir pasal keempat yang
menguraikan tentang keutamaan masjid dan tempat-tempat shalat.
Sebagai penutup
teks naskah ini penulis menyuguhkan pembahasan khusus tentang kisah-kisah orang
yang khusu’. Di sini penulis menguraikan kembali akan arti pentingnya
penghindaran shalat dari berbagai penyakit, pengikhlasannya demi Allah, serta
pelaksanaannya dengan mengikuti persyaratan-persyaratan batiniyah sebagaimana
disebutkan pada bab tiga terdahulu.
Shalat dalam Perspektif Tasawur
Adapun kerangka teoritik yang menjadi frame pemikiran dari tulisan
ini adalah bagaimana shalat dilihat dari perspektif tasawuf. Hakekat tasawuf[12] adalah akhlaq yang merupakan internalisasi dari ihsan. Hal itu dipertegas
oleh ungkapan Ahmad al-Jurairi ketika ditanya tentang tasawuf, beliau
mengatakan tasawuf adalah memasuki setiap akhlaq yang mulia dan keluar dari
setiap akhlaq tercela.[13] Perwujudan dari konsep akhlaq ini dilakukan dengan cara penyucian jiwa
yang dalam terminologi tasawuf biasa disebut dengan tazkiyah al-nafs,
melalui serangkaian latihan-latihan (riyâdlah) dan memerangi (mujâhadah)
nafsu rendah.
Konsep ini lebih
dikenal dengan takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli yaitu
melepaskan diri dari ikatan-ikatan dan sifat-sifat tercela yang mengotori hati,
di mana pada saat yang bersamaan hati dihiasi (tahalli) oleh
hal-hal yang menjernihkan cermin hati yang dengan demikian dapat bertajalli
atau memanifestasikan sifat-sifat dan asma Allah.
Proses bertakhalli,
bertahalli, dan bertajalli tersebut harus melalui
serangkaian olah batin dalam perjalanan menapaki tangga-tangga ruhani secara
bertahap, tapak demi tapak. Hal ini dikarenakan jiwa manusia tidak dapat sampai
pada hadirat Ilahi jika belum benar-benar dapat melepaskan diri dari
belenggu-belenggunya dan menjadi fanâ’ (lebur) dari sifat-sifatnya
sendiri.
Ilustrasi yang
sangat indah tentang proses perjalanan ini dilukiskan oleh Farîd al-Dîn al-Aththâr
dalam kitabnya Manthiq al-Thair Buku tersebut
menceritakan sekelompok burung, yang merupakan simbolisasi dari jiwa, melakukan
perjalanan melalui tujuh lembah penyucian dipimpin oleh burung hudhud, untuk menemui raja mereka, Simurgh,
yang menciptakan segala macam burung dari sehelai bulunya “bulu keajaiban” yang
jatuh di kegelapan malam.[14]
Sekelompok burung
tersebut memulai perjalanan yang sangat jauh dan berat setelah mendapat arahan
dan petunjuk dari sang pimpinan rombongan hudhud. Dimulai dari melewati
lembah thalab, kemudian ke lembah isyiq, lalu ke lembah ma`rifat,
lembah istignâ, lembah tauhîd, lembah hîrah, dan sampai
pada lembah faqr wa ginâ’, di mana masing lembah mencerminkan
tingkatan-tingkatan dari perjalanan itu.[15]
Dalam perjalanan tersebut masing-masing burung menemui dan melihat
rintangan-rintangan yang berbeda-beda sesuai dengan kesiapan masing-masing.
Tidak sedikit yang menyerah dan mundur di tengah jalan. Sehingga yang
benar-benar dapat menyelesaikan perjalanan tersebut hanya tiga puluh burung
saja. Yaitu mereka yang sabar dan berusaha terus menerus untuk mengatasi
rintangan-rintangan dan halangan-halangan perjalanan itu. Dan ketika mereka
sudah berada di hadapan raja, Simurgh, jiwa mereka telah lebur dan hijab
telah terbuka sehingga mereka dapat menyaksikan sang raja. Di sini mereka
menyaksikan Si Mur Gh, tiga puluh burung atau mereka menyaksikan yang
banyak dalam kesatuan. Dan ketika mereka berpaling menyaksikan diri mereka,
yang mereka lihat adalah kesatuan dalam yang banyak, Simurgh. Hal ini
membingungkan mereka sehingga dikatakan kepada mereka bahwa kehadiran ini
adalah cermin dimana orang yang melihat kepada cermin itu tidak akan melihat
kecuali dirinya sendiri.[16]
Pada intinya adalah
orang yang dapat membuka tabir pemisah, dan dapat menghadirkan diri di hadapan al-Haq
ialah orang yang telah menyucikan diri dari debu-debu maksiat dan melepaskan
sekat-sekat material yang ada pada dirinya dan terbang di alam ruhani.
Salah satu diantara
sekian banyak jalan dan cara untuk dapat hadir di hadirat Ilahi adalah shalat.
Secara etimologi shalat bermakna berdoa,[17]
mengingat, menyerah.[18]
Secara khusus terminologi ini mengacu pada ibadah ritual khusus yang dilakukan
pada waktu tertentu, paling tidak lima
kali sehari, dan dengan cara tertentu pula seperti dimulai dari takbir dan
ditutup salam. Shalat merupakan hubungan antara hamba dan Tuhannya[19]
yang di dalamnya ditemukan maqâmât dan jalan menuju ke hadirat-Nya sejak
awal hingga akhir, sebab sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits bahwa shalat
adalah mi’râj orang-orang beriman.[20]
Untuk dapat bermi’râj
dengan shalat, seorang mukmin harus berkonsentrasi penuh dan ingat terus
menerus kepada Allah. Di sini berarti bahwa dia harus menghadirkan hatinya,
sebab tanpa kehadiran hati dalam shalat, shalat tidak akan bermakna apa-apa.
Tidak hanya itu dalam makna yang lebih luas, shalat seperti inipun bisa
dilakukan setiap saat sepanjang hari yang disebut dengan “shalat hati”. Hal ini
seperti apa yang diungkapkan oleh Abd al-Qâdir al-Jailâni, sebagaimana dikutif
oleh Syed Ali Asyraf, ketika menafsirkan ayat 238 dari surat al-Baqarah, “Peliharalah
shalatmu dan terutama shalat yang di tengah (wustha)”. Beliau menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “shalat wustha” bukan shalat ashar akan tetapi
shalat qalb (hati), yakni yang bersifat spiritual dan bukan fisik.[21]
Sehingga shalat tidak hanya dilihat dari gerak fisiknya saja, akan tetapi
disertai juga dengan amalan-amalan batin.
Perpaduan Fikih dan Tasawuf dalam Naskah Asrâr al-Shalâh
Dalam dunia keilmuan Islam, perpaduan dari berbagai disiplin ilmu telah
dilakukan oleh para ulama. Keterkaitan satu ilmu dengan ilmu lain merupakan
suatu keniscayaan, sebab sebuah ilmu tidak akan dapat berdiri sendiri tanpa ada
hubungan dengan ilmu lainnya. Akan terdapat benang merah antara disiplin ilmu
kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf jika kesemua ilmu tersebut dihubungkan.
Ulama yang paling sering disebut sebagai orang yang berusaha keras
merekonsiliasi antara berbagai disiplin keilmuan Islam, khususnya antara fikih
dan tasawuf, adalah al-Ghazali. Usaha beliau tersebut tercermin lewat buku yang
menjadi magnum-opus beliau yaitu Ihyâ’ Ulûm al-Dîn.[22] Dalam buku tersebut
beliau tidak hanya mengkaji permasalahan agama dari sudut pandang fikih an
sich tetapi juga mengkajinya dari sudut pandang tasawuf. Sebagai contoh adalah
shalat, pertama-tama beliau menerangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan
shalat dari perspektif fikih, kemudian beliau menjelaskannya dari sudut pandang
tasawuf. Beliau memandang bahwa jika shalat dipadukan antara keduanya akan
memberikan kesempuranaan pemahaman dan penghayatan akan shalat itu.
Pola hubungan antara fikih dan tasawuf mengalami berbagai bentuk interaksi.[23] Di awal kemunculannya,
tasawuf berinteraksi dengan fikih dalam pola yang akomodatif. Pola akamodatif
yang dimaksud adalah pola saling menerima tanpa ada yang merasa tersaingi satu
di antara keduanya atau adanya keserasian antara kedua disiplin ilmu ini dan
terdapat usaha-usaha menghindari pertentangan. Pada masa ini ajaran tasawuf
tidak memolah-milah antara keduanya dan bersifat toleran.[24]
Sejalan dengan perkembangan jaman
dan keilmuan dalam islam serta interaksi kaum muslimin dengan budaya lain dari
luar, tasawuf yang pada mulanya hanya ditujukan untuk kehidupan yang zuhud
dan moral, mulai mengembangkan konsep hubungan antara manusia dengan tuhannya
tidak terbatas pada ma’rifat dan kedekatan akan tetapi kebersatuan dengan Tuhan
seperti konsep al-ittihad dan hulul. Konsep ini telah melahirkan pola hubungan
antagonistik antara fikih dan tasawuf, di mana antara yang satu dengan lainnya
saling bertentangan dan saling bersitegang mengklaim bahwa salah satu di antara
keduanya telah sesat.[25] Pola hubungan
antagonistik ini telah melahirkan konflik yang tidak hanya pada dataran wacana,
tetapi melainkan merambah juga pada dataran konflik fisik yang telah memakan
korban dengan dihukum matinya al-Hallaj, dikarenakan konsep al-hululnya. Pada
pola ini hubungan fikih dan tasawuf sangat kelabu.
Seperti dipaparkan di atas bahwa al-Ghazali merupakan figur yang dapat
mendamaikan konflik tersebut dengan usahanya untuk memadukan antara fikih dan
tasawuf. Beliau mencoba memungsikan fikih dalam tasawuf dan tasawuf dalam
fikih, dalam arti bahwa terdapat fungsi fikih sebagai landasan dalam tasawuf
dan fungsi tasawuf dalam fikih adalah memberikan makna penghayatan fikih agar tidak
terlihat atau terkesan kaku sehingga terjadi integritas yang berkeseimbangan
(equilibrium). Dalam pada itu, hubungan fikih dan tasawuf saat itu bersifat
fungsional atau berpolakan hubungan fungsional.[26]
Pola yang ketiga ini sangat terlihat jelas pada teks naskah Asrâr al-Shalâh
ini. Teks naskah ini berbicara masalah shalat tidak hanya dilihat dari sudut
pandang fikih, tetapi juga dilihat dan dibahas dalam sudut pandang tasawuf. Hal
itu terbaca dari paparan penulis yang menjelaskan shalat pertama kali dengan
mengetengahkan hal-hal yang harus dilaksanakan dari cara-cara melakukan gerakan
fisik dan bacaan shalat sejak takbiratul ihram sampai salam. Begitu juga dengan
hal-hal yang tidak boleh dilakukan bagi seorang yang melaksanakan shalat
seperti berdiri di atas satu kaki, menempelkan kaki yang satu dengan yang lain, duduk di antara
dua sujud dengan berjongkok, memasukkan kedua tangan ke dalam baju, mengangkat
pakaian (sarung, celana, dan sebagainya) ketika hendak sujud, baik dari arah
depan atau belakang, berkecak pinggang, menyambung antara bacaan al-Fatihah dan
takbiratul Ihram serta antara ruku’ dan bacaan surat, shalat dalam keadaan
sangat ingin (kebelet) buang air besar atau kecil dan dalam keadaan amat lapar.
Selanjutnya penulis menjelaskan tentang perbedaan antara hal-hal mengenai
yang wajib dan sunnat dari amalan-amalan lahir tersebut dijelaskan. Dan seperti
kebanyakan ulama fikih, penulis juga menjelaskan pembagian sunnat shalat
menjadi sunnat ab`âd dan hai’ât. Keseluruhan sunat shalat
tersebut tidak boleh dilupakan karena merupakan unsur kesempurnaan shalat. Rukun-rukun
shalat ibarat jantung bagi manusia, sunnat ab`âd ibarat kedua tangan,
kaki, telingan, mata, dan organ vital lainnya. Sedangkan sunnat hai’ât ibarat
bagian tubuh yang dapat memperindah dan mempercantik badan seperti alis,
jenggot warna kulit dan sebagainya. Ketidak-adaan bagian-bagian tubuh seperti
kedua tangan, kaki, dan bagaian yang memperindah tubuh tidak menjadikan manusia
mati. Sehingga beliau menganalogikan orang yang hanya mencukupkan rukun-rukun
shalat ibarat orang yang menghadiah seorang hamba yang tidak bertangan,
berkaki, bertelinga kepada seorang raja.[27]
Namun demikian, penulis menyatakan bahwa seluruh amalan-amalan lahir
tersebut tidak akan ada manfaat dan gunanya jika tidak dibarengi dengan
amalan-amalan batin untuk dapat memaknai dan menghayati shalat.[28] Di sini penulis mencoba
memungsikan tasawuf dalam pelaksanaan gerakan fisik dan bacaan shalat. Sejalan
dengan itu, bahwa kesejatian shalat menurut Sunan Bonang tidak terletak pada
tidak pernah absennya seseorang dalam pelaksanaan shalat lima waktu sehari
semalam semata, akan tetapi terletak pada pemaknaan, penghayatan, dan pemahaman
hakikat amalan-amalan tersebut.[29]
Demi memahami dan memaknai serta menghayati shalat, perlu diketahui hal-hal
yang berkaitan dengan amalan hati yakni, khusyu`, kehadiran hati, pemahaman (tafahhum), penghormatan (ta`zhîm),
rasa takut yang disertai pengagungan (haibah), harapan (rajâ’),
dan rasa malu (hayâ’).
Khusyu` adalah mengumpulkan seluruh keinginan dan perhatian yang kuat
(himmah) dalam shalat dan memalingkan diri dari selain shalat serta
memikirkan/merenungkan bacaan dan dzikir yang diucapkan dalam shalatnya, atau
paling tidak ia memikirkan perkara akhirat.[30] Khusyu` adalah sesuatu
yang berasal dari dalam hati yang tercermin dalam ketenangan, ketundukan,
kelembutan, ketakutan dan kehinaan kepada Allah.[31] Dan untuk dapat khusyu`
diperlukan kehadiran hati, anggota badan yang tenang, dan keberpalingan dari
selain shalat.[32]
Kekhusyu`an adalah keharusan dalam
shalat sebab hakekat shalat adalah dzikir (mengingat). Seorang yang mengingat
tentulah bukan orang yang lalai. Shalat orang yang lalai tidak mencegah
pelakunya dari perbuatan keji dan mungkan, sebagaimana yang dinyatakan dalam
sebuah riwayat ”barang siapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan
keji dan mungkar, ia tidak bertambah dengan Allah kecuali bertambah jauh”.
Hudlur al-qalb atau kehadiran hati, yakni
kosongnya hati dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang
sedang dikerjakannya, ataupun diucapkannya. Kesadarannya tentang perbuatan dan
ucapannya tak pernah berpisah dari kedua-duanya, pikirannya pun tak pernah
melayang, kecuali di sekitar kedua-duanya.[33] Kehadiran hati disebabkan
oleh adanya haibah (rasa takut dengan pengagungan), karena hati itu akan
selalu mengikuti keinginan yang kuat dan tidak akan pernah hadir kecuali pada
sesuatu yang dianggap penting dan menjadi keinginan yang kuat. ketika hati
tidak hadir dalam shalat maka pada hakekatnya tidak ada pengagungan pada shalat
itu.[34] Maka tidak ada jalan
kecuali memalingkan himmah (keinginan yang kuat) pada shalat, akan
tetapi himmah-nya tak akan terpaling kesana sebelum ia menyadari bahwa
tercapainya tujuan utama hidupnya tergantung pada salat.
Tafahhum, yakni upaya pemahaman secara mendalam tentang makna
yang terkandung dalam suatu ucapan. Sebab adakalanya hati seseorang hadir
bersama suatu ucapan tetapi tidak hadir bersama ’makna’ ucapan itu.[35] Seseorang akan bisa
memahami tentang gerak dan bacaan shalatnya disebabkan oleh selain kehadiran
hatinya adalah pemusatan pikiran dan pencurahan perhatian terus menerus untuk
dapat menyerap makna yang terkandung di setiap gerakan dan ucapan dalam salat.
Caranya ialah penghadiran hati beserta pemusatan pikiran serta bersungguh-sungguh dalam menolak
angan-angan mengganggu yang melintas di kepala. Sedangkan cara menghilangkan
bayangan dan angan-angan yang melintas yang menyibukkan pikiran ialah membuang
sumber-sumber penyebabnya.[36]
Penghormatan dan pengangungan (ta`zhîm).[37] Di samping seseorang itu
harus menghadirkan hatinya dan memahami ucapannya, dia juga harus mengagungkan
Allah swt. Hal ini akan berpengaruh dalam hati dengan munculnya rasa takut, dan
kekhawatiran, serta kemuliaan. Rasa pengagungan ini disebabkan oleh pengetahuan
akan kebesaran dan keagungan Allah swt dan pengetahuan akan kedudukannya
sebagai seorang hamba.[38]
Adapun haibah adalah rasa takut yang berasal dari rasa penghormatan
(ta`zhîm) dikarenakan oleh pengetahuan akan kekuasaan Allah,
keperkasaan-Nya, kekuatan kehendak-Nya dan ketidakpedulian-Nya.[39] Sedangkan rajâ’ (pengharapan)
adalah bahwasanya seorang yang melakukan shalat haruslah tetap berharap
mendapatkan pahala shalatnya sebagaimana ia juga takut dari siksa-Nya karena
ketidak mampuannya menunaikannya dengan baik.[40] Penyebabnya adalah
pengetahuannya akan kelembutan dan kasih sayang Allah SWT, kedermawanan-Nya,
anugerah-anugerah-Nya yang melimpah, keindahan ciptaan-Nya, serta keyakinan
akan kebenaran firman-Nya dalam menjanjikan surga bagi yang melaksanakan salat.[41] Dan yang terakhir adalah
rasa malu (hayâ’) suatu rasa yang timbul karena ketidak-mampuan untuk
menunaikan shalat dengan baik dan perasaan berdosa. Perasaan ini akan bertambah
kuat dengan bertambahnya pengetahuannya akan kekurangan-kekurangan jiwanya,
penyakit-penyakitnya, kurang ikhlasnya, serta kecenderungannya pada perbuatan
dosa.[42]
Amalan-amalan batin yang tersebut di atas adalah dalam rangka mendapatkan
kekhusyukan dan dapat menghadirkan hati yang berujung pada peningkatan kualitas
shalat. Kekhusyukan dan kehadiran hati merupakan syarat batin yang harus
dipenuhi. Sebab secara substansi, shalat adalah wahana pengalaman langsung akan
Tuhan (musyâhadah) dan munajat; cerminan dialog mesra antara dengan Tuhan.[43] Dialog yang harus keluar
dari kesadaran hati sehingga terjadi komunikasi yang merupakan respon merespon
antara kedua belah pihak. Dan juga shalat harus ditegakkan untuk mengingat
Allah, sebagaiman firman-Nya ”dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”[44]
dan karenanya dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ini bermakna
bahwa dalam shalat seluruh eksistensi terlihat dalam satu peristiwa yang
mencerahkan, antara kepasrahan hati yang penuh dedikasi dan gerak tubuh.[45] Sebagai implikasinya
adalah bahwa orang yang selalu ingat dan berhubungan serta berdialog secara
sadar dengan Tuhan tentunya akan menjadi cerminan sifat sang kekasih, di mana
antara gerak lidah, gerah hati, dan gerak tubuh terdapat kesesuaian.
Menurut al-Ghazali inilah shalat yang memenuhi persyaratan[46] sebagai shalat yang baik.
Shalat ini berfungsi memancarkan cahaya-cahaya di
dalam hati, yang selanjutnya akan merupakan kunci bagi ilmu-ilmu mukasyafah.
Para wali Allah banyak yang disingkapkan rahasia-rahasia kerajaan langit dan
bumi dan rahasia-rahasia ketuhanan dalam shalatnya, terlebih lagi di waktu
sujud.[47] Mukasyafah seorang hamba tergantung pada kadar kejernihan
hatinya dari kotoran-kotoran duniawi, dan akan berbeda-beda pada tingkat
kekuatan dan kelemahannya, banyak dan sedikitnya, serta kejelasan dan
keburamannya.[48]
Jika dilihat penjelasan tersebut, baik dari hal-hal yang berkaitan dengan
amalan lahir maupun amalan batin, maka nampak sekali bahwa pembahasannya sangat
dipengaruhi oleh pembahasan al-Ghazali dalam kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn
khususnya bab Asrâr al-Shalâh. Atau secara intertekstual telah terjadi
proses pinjam-meminjam dalam hal ini teks naskah Asrâr al-Shalâh
meminjam dan dipengaruhi oleh karya al-Ghazali tersebut. Dan itupun terbukti
dengan pengakuan penulis yang mengatakan pada pendahuluan bahwa tulisan ini
disusun dari kumpulan tulisan ulama-ulama ahli ibadah. Lagi-lagi ini menegaskan
pengaruh tasawuf Ghazalian yang sunni di nusantara pada abad ke-17 dan ke-18
masehi.
SIMPULAN
Secara umum isi yang terkandung dalam teks naskah Asrâr alShalâh
membahas tentang kajian shalat yang dielaborasikan antara disiplin ilmu fikih
dan ilmu tasawuf. Di sini tampak jelas pengaruh tasawuf ”Ghazalian” dalam
memaparkan pokok bahasan dari tiap-tiap bab dan sub-bab (pasal), yang mencoba
memfungsikan fikih dalam tasawuf dan atau sebaliknya. Walaupun ketiadaan
khusyuk dalam shalat, menurut fikih, tidak membatalkan shalat. Akan tetapi
menurut tasawuf ketidak khusyukan dan ketidak hadiran hati dalam shalat
menjadikan shalat itu mati dan tidak menyampaikan ke hadirat Ilahi.
DAFTAR
PUSTAKA
Afîfi,
Abu al-`Elâ, Fushûsh al-Hikam wa Ta`lîqât `Alaihâ Jilid I
(Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabi, 1980).
Afifi,
Abu al-Elâ, al-Tashawuf; al-Tsaurah al-Rûhiyah fi al-Islâm, (Kairo:
Dâr al-Ma´ârif, 1963), Cet. I.
al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid 1 (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1989).
al-Haddad,
Mu’min Fathi’, Khusyuk Bukan Mimpi, terj. Ahmad Syakirin (Solo: Aqwam,
2007).
al-Qusyairi,
Abdul Karim ibn Hawazan, ar-Risâlah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf
(Beirut: Dâr
al-Khair, t.t.).
al-Thusi,
Abu Nashr al-Sarrâj, al-Luma’ fi Ilm al-Tashawuf, (Kairo: Dâr al-Kutub
al-Haditsah, 1960).
Amstrong,
Amatullah, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memahami Dunia Tasawuf, terj.
M.S. Nasrullah & Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1996).
Anshori,
Islam Esoteris: Studi terhadap Naskah Serat Syekh Siti Jenar, makalah
disampaikan pada Temu Riset Badan Litbang Depag RI bekerjasama dengan Lembaga Penelitian IAIN Mataram
Tahun 2007 di Hotel Lombok Raya Mataram Lombok.
Asyraf,
Syed Ali, “Makna Batin Ritus-Ritus Islam: Shalat, Haji, Puasa, Jihad” dalam
Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopei Tematis Spiritualitas Islam, terj.
Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan, 2002).
Azra,
Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1996).
Baried,
Siti Baroroh, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta:
BPPF Seksi Filologi Fak. Sastra UGM, 1994).
Chodjim,
Achmad, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).
Green,
Michael, Shalat di Mata Sufi: Anugrah Terbesar dari Allah, terj. Ilyas
Hasan (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000).
Guillot,
Claude, & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008).
Ikram,
Achadiati, Filologia Nusantara (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997).
Ma`luf,
Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, cet. Ke-28, (Beirut: Dâr
al-Masyriq, 1986) Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Abd. Hadi WM,
(Bandung: Mizan, 1992).
Mukhlis,
Kitab Tarjamat al-‘Alamat al-‘Alamat (Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Analisis
Isi Berdasarkan Naskah No. CXI/23 Koleksi Museum Samparaja Bima), Laporan
Hasil Penelitian Lemlit IAIN Mataram Tahun 2005 tidak diterbitkan.
Supriayadi, Dedi, Fikih Bernuansa Tasawuf al-Ghazali;
Perpaduan antara Syariat dan Hakekat (Bandung:
Pustaka Setia, 2008).
Tjandrasasmita,
Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam
di Indonesia (Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006).
[1]
Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta:
BPPF Seksi Filologi Fak. Sastra UGM, 1994), 6.
[2]
Mukhlis, Kitab Tarjamat al-‘Alamat al-‘Alamat (Alih Aksara, Alih Bahasa, dan
Analisis Isi Berdasarkan Naskah No. CXI/23 Koleksi Museum Samparaja Bima),
Laporan Hasil Penelitian Lemlit IAIN Mataram Tahun 2005 tidak diterbitkan, 1,
[3]
Achadiati Ikram, Filologia Nusantara (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1997), 7.
[4]
Uka Tjandrasasmita Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian
Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006), 17.
[5]
Claude Guillot & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008), 7.
[6]
Abdurrahman Falughah, Wawancara tanggal 10 Januari 2008 di Pontianak.
[7]
Tahun penulisan ini terlihat dan terbaca dalam kolofon yang terdapat pada
halaman terakhir teks naskah ini. Untuk mengonversi tahun hijriyah ke tahun
masehi, peneliti menggunakan program “Shollu”.
[8]
Usaha rekonsiliasi antara fikih dan tasawuf lebih sering disebut dengan istilah
Neo-Sufisme. Istilah ini menurut Azra dipopulerkan oleh Fazrul Rahman.
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), 109.
[9]
Istilah “Tasawuf Ghazalian” dilontarkan oleh M. Afif Anshori dengan tujuan
untuk tidak terjebak ke dalam dikotomi Tasawuf Sunni dan Falsafi. Lihat
Anshori, Islam Esoteris: Studi terhadap Naskah Serat Syekh Siti Jenar,
makalah disampaikan pada Temu Riset Badan Litbang Depag
RI bekerjasama dengan Lembaga Penelitian IAIN
Mataram Tahun 2007 di Hotel Lombok Raya Mataram Lombok,
24.
[10]
Dalam teks naskah tersebut sangat jelas dinyatakan bahwa “Barang siapa yang
mengaku telah mengetahui hakekat dan meninggalkan syari’at, maka dia itu adalah
pendusta dan perbuatannya adalah suatu kezindikan”.
[11]
Pernyataan ulama yang sangat jelas tentang kedudukan syariat bagi tasawuf
adalah ungkapan al-Qusyairi dalam ar-Risâlah-nya yaitu “Setiap
syariat yang tidak didukung oleh hakekat tidak akan diterima, dan setiap
hakekat yang tidak terikat dengan syariat tentu tidak ada hasilnya”. Lihat,
Abdul Karim ibn Hawazan al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Beirut: Dâr al-Khair,
t.t.), 46.
[12] Kata
ini menurut al-Qusyairi tidak memiliki derivasi kata (ishtiqâq) Arab yang dapat
diturunkan dari sebutan sufi. Penafsiran yan paling masuk akal adalah bahwa
sufi serupa dengan gelar. Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah, 279.
[13] Ibid.,
280
[14]Abu
al-Elâ Afifi, al-Tashawuf;
al-Tsaurah al-Rûhiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma´ârif, 1963), Cet. I,
136.
[15]
Dalam terminologi tasawuf tingkatan lembah penyucian tersebut disebut maqâmât atau
tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh seorang salik dalam perjalanannya
menuju ke hadirat Ilahi. Maqâmât
(tingkatan-tingkatan) yang disebutkan al-Aththar dalam kisah tersebut merujuk
pada tujuh tingkatan pembagian maqâmât yang
disebutkan oleh al-Thusi dalam kitabnya al-Luma’ fi Ilm al-Tashawuf.
Lihat Abu Nashr al-Sarrâj
al-Thusi, al-Luma’ fi Ilm al-Tashawuf, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1960).
[17]
Luis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, cet. Ke-28, (Beirut: Dâr al-Masyriq,
1986), 434
[18]
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Abd. Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1992),
269.
[19]
Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memahami Dunia Tasawuf,
terj. M.S. Nasrullah & Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1996), 259.
[20]
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, 269.
[21]
Syed Ali Asyraf, “Makna Batin Ritus-Ritus Islam: Shalat, Haji, Puasa, Jihad”
dalam Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopei Tematis Spiritualitas Islam, terj.
Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan, 2002), 152.
[22]
Dalam penelitian ini kitab yang digunakan sebagai rujukan adalah Ihya’
Ulum al-Dîn
Jilid I yang diterbitkan oleh Dar
al-Fikr Beirut
tahun 1991.
[23]
Dedi Supriayadi, Fikih Bernuansa
Tasawuf al-Ghazali; Perpaduan antara Syariat dan Hakekat (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 97.
[24] Ibid.,
101.
[25] Ibid.,
103.
[26] Ibid.,
108.
[28]
Ini tidak berarti bahwa shalat yang hanya mencukup amalan-amalan lahir tidak
sah atau batal. Naskah Teks Asrâr
al-Shalâh, 68.
[29]
Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 152.
[31]
Mu’min Fathi’ al-Haddad, Khusyuk Bukan Mimpi, terj. Ahmad Syakirin
(Solo: Aqwam, 2007), 17.
[32] Ibid.,
38
[33] Ibid.,
32.
[34] Ibid.,
38.
[35] Ibid.,
34.
[36] Ibid.,
39.
[37] Ibid.,
35.
[38] Ibid.,
40.
[39] Ibid.
[40] Ibid.,
36.
[41] Ibid.,
41.
[42] Ibid.
[43]
Abu al-`Elâ
`Afîfi, Fushûsh al-Hikam wa Ta`lîqât `Alaihâ Jilid I (Beirut: Dâr
al-Kitâb al-`Arabi, 1980), 222. Lihat juga Michael Green, Shalat di
Mata Sufi: Anugrah Terbesar dari Allah, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 41.
[45]
Green, Shalat di Mata Sufi…, 38.
[46]
Ada tiga persyaratan menurut al-Ghazali sebagai syarat shalat yang baik; a)
penghindaran shalat dari berbagai penyakit; b) pengikhlasan hanya untuk Allah;
c) dan pelaksanaannya mengikuti syarat-syarat batiniyah yang enam tersebut.
Lihat, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid
1 (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1989), 200.
[47]
Rasululah dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa saat-saat seorang hamba
berada paling dekat dengan tuhannya adalah di saat ia sujud (hadits).
[48]Ibid.
Artikel ini pernah diterbitkan oleh Jurnal Penelitian Keislaman Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Mataram. Jurnal Penelitian Keislaman Vol. 6, No. 1, Desember 2009: 53-76.
BalasHapus