MIMPI NUBUWWAH
MIMPI NUBUWWAH
(Analisis Sufistik terhadap Proses Kenabian)
Pendahuluan
Menyeruaknya aliran-aliran keagamaan baik yang mengatasnamakan dirinya Islam maupun tidak sangat marak akhir-akhir ini. Fenomena ini tidak hanya membuat resah para agamawan (ulama), tetapi juga para penegak hukum. Para agamawan teresahkan karena menurut mereka aliran-aliran ini telah sesat dan menyimpang dari mainstream kepercayaan yang telah terbangun. Sedangkan para penegak hukum mengkhawatirkan terjadinya anarkhi yang akan dilakukan oleh penganut yang merasa agamanya terlecehkan.
Fenomena Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir/akhir jaman, Lia Aminuddin dengan “Kindom of God”[1] rumah tuhannya, serta Ahmad Musoddeq yang mengaku sebagai nabi dan rasul adalah beberapa contoh dari sosok-sosok yang melahirkan aliran-aliran keagamaan yang baru tersebut. Mirza Ghulan Ahmad terkenal dengan “Ahmadiyah”, Lia Aminuddin pada saat pada awal dikenal dengan kelompok “Salamullah” dan sejak Desember 2005 berubah menjadi “Komunitas Eden”,[2] dan Ahmad Musaddeq dengan “al-Qiyadah.” Aliran-aliran yang mereka cetuskan bermula dari pengakuan mereka tentang pewahyuan yang mereka dapatkan dari Tuhan melalui mimpi.
Makalah ini mencoba mengurai tentang mimpi nubuwah atau mimpi yang merupakan sebagian dari kenabian. Mimpi ilhamat yang merupakan mubashshira>t sebagai kabar kembira dari Allah. Karena dalam pandangan tasawuf mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur atau berfungsi untuk menyalurkan perasaan yang terpendam yang tidak dapat diungkapkan pada waktu sadar, dan menyalurkan dorongan dan hasrat itu agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku; ataupun memberi gambaran mengenai sumber-sumber ketegangan dan sengketa batin yang mungkin saja orang bersangkutan sendiri tidak memahaminya,[3] atau dengan kata lain mengkompensasi ketidak-seimbangan yang terjadi dalam dialektika antara dunia internal dengan realitas eksternal. Akan tetapi dalam pandangan tasawuf mimpi lebih dari sekedar itu terlebih yang berhubungan dengan mimpi nubuwwah yang merupakan lokus pewahyuan.
Untuk itu, sebelum pembahasan tentang mimpi tersebut, terlebih dahulu perlu diketengahkan pembahasan tentang konsep kenabian, konsep kewalian dan hubungan antara keduanya untuk melihat dimana letak pewahyuan tersebut.
Konsep Kenabian dan Kewalian.
a. Konsep Kenabian
Pada hakekatnya konsep kenabian adalah suatu bentuk upaya yang paling penting yang pernah dilakukan oleh para filsuf muslim dalam memadukan filsafat dan agama, akal dan naql, bahasa langit dan bahasa bumi. Suatu usaha yang menjelaskan bagaimana bahasa langit dapat sampai kepada manusia penghuni bumi untuk membangun agama yang berlandaskan akal.[4]
Setiap agama samawi pasti terlahir dari wahyu dan ilham. Seluruh ajarannya akan berlandaskan dan tidak akan terlepas dari wahyu tersebut. Wahyu adalah sekumpulan titah Ilahi yang disampaikan kepada rasul dan nabi-Nya. Seorang nabi adalah seorang manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan-Nya dan mengekspresikan kehendak-Nya. Ia merupakan seorang penghubung antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
Usaha rasionalisasi dari wahyu agama - membahasa bumikan bahasa langit - tersebut, diwujudkan dalam bentuk teori akal sepuluh yang dikembangkan oleh al-Farabi. Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing memiliki planet-planet untuk diatur. Akal adalah wujud kedua setelah Tuhan yang merupakan Wujud Pertama. dan dari akal tersebut muncul akal-akal yang lain sampai akal kesepuluh yang mengatur bumi. Akal ini meneruskan pancaran Ilahi ke manusia di permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu yang dapat ditangkap oleh akal perolehan filosuf.[5] Nabi sendiri memiliki akal potensial yang dayanya jauh lebih tinggi dari daya perolehan filosuf, sehingga tanpa usaha, seorang nabi dengan langsung dapat berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah Jibril.[6]
Keterkaitan teori kenabian terletak pada teori akal kesepuluh ini yang merupakan pancaran Ilahi yang tidak hanya berupa ilmu yang dapat diterima oleh akal nabi akan tetapi juga wahyu. Kenabian mempunyai karakteristik sebuah gambaran imajinasi yang berkaitan erat dengan al-´aql al-fa’a>l yang langsung berhubungan dengan tuhan, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, dan dapat mencapai visi dan inspirasi.[7] Dan daya imajinasi nabi yang dianugerahkan Allah kepadanya lebih kuat daripada akal mustafadfilosuf.[8]
Term nabi atau nubuwah secara bahasa berasal dari kata naba’a – yanba’u yang berarti berita, karena datang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sehingga al-nubuwah adalah berita tentang kegaiban atau berita yang datang dengan ilham dari Tuhan.[9]
Kenabian menurut al-Ghazali merupakan suatu fase dimana di dalamnya terdapat mata yang bercahaya, dan dengan cahayanya tersebut tampak hal-hal yang gaib dan yang tidak diketahui oleh akal.[10] Posisinya lebih tinggi tinimbang akal, karena ia merupakan petunjuk dan rahmat yang diberikan langsung oleh Allah. Sebagaimana anak kecil baru dapat membedakan antara baik dan buruk pada masa tamyi>z dimana akal sudah mulai sempurna. Di sini akal kedudukannya lebih tinggi daripada indera.
Sedangkan dalam bahasa al-H}aki>m al-Tirmidhi>, kenabian adalah pengetahuan tentang Allah dan terbukanya tabir sehingga dapat mengetahui rahasia-rahasia kegaiban. Ia juga merupakan mata untuk melihat segala sesuatu yang tersembunyi dengan cahaya Ilahi yang sempurna.[11] Suatu kalam yang disampaikan oleh Allah melalui perantara ruh.[12] Sedangkan Ibn Arabi mendefinisikan kenabian sebagai suatu kedudukan yang ditentukan oleh Allah kepada seorang hamba dengan akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan yang baik yang diketahui oleh hati dan tidak diingkari oleh jiwa, dibimbing oleh akal, serta sesuai dengan tujuan-tujuan yang mulia.[13]
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dikatakan bahwa seorang nabi adalah seorang yang diutus Allah demi kemaslahatan kehidupan dunia dan untuk memberi peringatan tentang akhirat. Utusan itu haruslah seorang – karena merupakan seorang pilihan - yang memiliki jiwa yang mulia, berpengetahuan dan lebih mampu daripada orang lain pada zamannya dikarenakan kemuliaan jiwanya. Dengan kualitas daya dan kesiapan[14] jiwanya yang jauh melebihi yang lainnya ia mampu untuk berkomunikasi dengan alam yang lebih tinggi, Allah. Komunikasi itu dapat melalui perantara akal kesepuluh, Jibril, maupun tanpa perantara berupa percakapannya dengan Allah dari balik tabir atau berupa wahyu. Ketiganya merupakan jalan kenabian menurut Ibn Arabi.[15]
b. Konsep kewalian
Dalam terminologi tasawuf, kata wali dan kewalian[16] secara bahasa berderivasi dari asal kata wala> atau waliya, walâyah atau wila>yah. Kata ini, menurut Ibn Manz}u>r dalam Lisa>n al-Arab,[17] bermakna dekat, kekasih, teman, penolong, pemilik, hamba, kerabat dekat. Ia juga mengatakan bahwa kata wali merupakan salah satu nama Allah yang berarti penolong yang menguasai seluruh makhluk dengan segala permasalahan. Juga berarti pemilik segala sesuatu dan bertindak atasnya.
Sedangkan Ibn Fa>ris[18] mengatakan bahwa kata wali menunjukkan arti kedekatan. Demikian juga dengan kata derivasinya, maula, berarti yang dimerdekakan (hamba), kawan, wakil, sepupu, penolong, tetangga. Mereka semua termasuk wali dalam arti kedekatan.
Dalam bahasa Arab, kata ini telah dipergunakan jauh sebelum datangnya Islam dan sebelum munculnya tasawuf. Dan sebagai makna awal dari kata ini adalah kedekatan. Sebab kata ini menunjukkan arti sepupu dan saudara kaum kerabat dari hubungan darah. Di samping itu juga bahwa dalam kehidupan kabilah, kedekatan yang disebabkan oleh hubungan darah adalah yang paling utama untuk ditolong, dijaga, dan dipelihara. Dari sini mulailah berkembang arti wilayah menjadi pertolongan, penjagaan, dan pemeliharaan.[19] Dan karena itu pula, dari makna kedekatan dalam hubungan darah (kekerabatan), kata wilayah berevolusi menjadi makna kedekatan dalam hubungan sosial.
Dalam al-qur’an dan al-hadith, kata wali (jamak awliya>’) ditemukan di beberapa tempat. Kata ini tidak saja ditujukan untuk manusia, akan tetapi Allah swt. sendiri menyatakan diri-Nya sebagai wali bagi orang-orang yang beriman (QS. 45: 18), wali bagi orang-orang yang bertakwa, wali yang menghidupkan dan mematikan (QS. 42: 10), dan wali yang terpuji (QS. 42: 28). Dalam bentuk plural, dapat bermakna positif yang menunjukkan arti hamba-hamba-Nya yang muqarrabi>n dan yang berjuang di jalan-Nya (QS. Yunus 63), dan wali-wali-Nya yang tidak memiliki rasa takut ataupun kesedihan (QS. 10: 62). Kata ini dapat juga mengandung arti negatif, wali-wali syetan (QS. 4: 76).
Makna-makna etimologis dari kata wali tersebut dapat digolongkan menjadi 2 kategori; yang pertama berhubungan langsung dengan ide kedekatan, yang merupakan makna asal dari akar kata tersebut, sepadan dengan makna “teman”, “sahabat”, “famili”, “rekan”, “konselor”. Sedangkan yang kedua, bermakna “pelindung” ataupun “pengatur”. Eksistensi dari kedua kelompok makna ini berhubungan erat dengan wazan kata wali tersebut, yaitu fa´i>l yang bermakna ganda; aktif dan pasif.[20]
Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan al-Qushairi dalam al-Risa>lah-nya, bahwa kata wali memiliki 2 makna; pertama, sebagai bentuk wazan fa´i>l yang merupakan bentuk superlatif (muba>laghah) fa>´il, seperti qadi>r atau ´ali>m, berarti orang yang konsisten dalam ketaatan tanpa dibarengi perbuatan maksiat. Kedua, sebagai bentuk wazan fa´i>l dalam arti maf´u>l, seperti qati>l yang berarti maqtu>l atau jari>h yang berarti majru>h, berarti orang yang selalu dijaga oleh Allah sehingga ia tidak berbuat maksiat.[21] Dalam bentuk pertama ia berarti aktif, yaitu orang yang menginginkan (muri>d) dan dalam bentuk bentuk kedua adalah pasif yaitu orang yang diinginkan Tuhan (mura>d).[22]
Bentuk aktif disini, menurut al-Tirmidhi>,[23] adalah seseorang yang berusaha, dengan melalui usaha yang berjenjang, sampai pada tahap yang benar-benar s}iddiq, memerangi hawa nafsunya secara terus menerus hingga ia sampai kepada rahmat Allah. Orang tersebut dinamakan ahl s}udq, ia mengusahakan dirinya sesuai dengan fitrahnya dan usahanya masing-masing. Sedangkan bentuk pasif adalah orang yang ditarik (majdhu>b), tidak ada pilihan lain baginya kecuali menjadi hamba yang murni. Bentuk pasif ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu orang yang memang dikehendaki Allah (ahl al-mashi>’ah) sehingga ia ditarik Allah, dan orang yang memang telah berusaha dan sampai pada tahap Wali H{aq Allah dan kemudian ia ditarik menuju kepada wali Allah. Orang ini disebut ahl al-hida>yah.
Salah satu ciri khusus seorang wali adalah kedekatannya dengan Allah. Ciri ini berlaku bagi setiap muslim, karena setiap orang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Menurut para sufi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Afifi, seorang wali adalah seorang yang telah sampai pada maqa>m kedekatan dengan Allah, disebabkan karena kesucian, kewaraan dan kefanaannya dalam cinta ilahi.
Ketika ciri tersebut berlaku bagi setiap muslim yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan maka kewalian itu adalah kewalian umum. Dan jika berlaku hanya pada orang-orang yang “telah sampai” di hadirat Ilahi, maka kewalian tersebut adalah kewalian khusus.[24] Sehingga dapat dikatakan bahwa sufi adalah “khas”nya muslim, dan wali adalah “khas”nya sufi, maka dapat dikatakan bahwa wali adalah “khas”nya muslim. Kewalian adalah tingkatan spiritual yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh setiap muslim.
Seorang wali selalu disibukkan dengan mengingat Allah dan seluruh hidupnya dipersembahkan hanya untuk-Nya. Seseorang yang telah dapat membebaskan diri dari jerat-jerat hawa nafsunya, kecenderungan-kecenderungan jiwa rendahnya, dan hubungan dirinya dengan alam sekitar. Karena itu, sangatlah wajar jika ia telah sampai pada tingkatan ini, seluruh pikiran, dan bisikan hatinya akan sesuai dengan kehidupan spiritualnya. Dan bahkan lebih dari itu, karena kebersihan hatinya, ia mampu mengetahui hal-hal yang gaib dan hakekat sesuatu melalui kashf ilham.
c. Hubungan antara Kenabian dan Kewalian
Menurut al-qur’an kewalian ada 2 macam; kewalian melalui proses pencarian dan kewalian yang dipilih dan diangkat langsung tanpa melalui proses pencarian.[25] Wali terpilih lebih tinggi derajatnya daripada wali yang melalui proses pencarian, sebab Allah langsung memilih mereka sejak lahir sehingga jiwa-jiwa mereka bersih tidak memikirkan hal-hal lain, dan mereka tidak pernah melihat perbuatan-perbuatan mereka yang akan menjadi hijab antara dia dan Allah. Apa yang mereka lakukan adalah cerminan dari perbuatan Allah. Para wali ini termasuk di dalamnya para nabi, rasul, para s}iddiqu>n, muh}addithu>n, dan wali penutup.[26] al-H{aki>m al-Tirmidhi> sendiri mengatakan bahwa para nabi sebelum diangkat menjadi nabi adalah wali. Dengan demikian mereka memilik dua sifat; sifat kewalian yang merupakan tingakatan spiritualitas umum dan sifat kenabian menunjuk tingkatan spiritualitas khusus. Akhir dari kewalian adalah awal dari kenabian,[27] dan kewalian seorang nabi adalah dasar dari kenabiannya.
Kenabian akan berkesinambungan. Ia tetap berlangsung dan tidak pernah terputus hingga hari kiamat. Ia laksana makanan yang dibutuhkan oleh alam ini. Jika pun terputus, maka itu adalah kenabian yang disertai shari´at. Terputusnya dengan terputusnya shari´at Nabi Muhammad saw. Kenabian ini adalah kenabian khusus, sedangkan yang pertama adalah kenabian umum. Kenabian umum tidak memiliki hak tashri>´. Tiap zaman tidak akan pernah terputus dari orang yang memiliki kenabian umum ini, yaitu kewalian.[28]
Kewalian merupakan pemberian tuhan, yaitu cahaya yang dipancarkan oleh Allah di dalam hati seorang hamba yang dengannya ia dapat mengenal tuhannya. Al-Hallaj mengatakan “kalau bukan karena pengenalan-Nya terhadapmu, maka engkau tidak akan mengenal-Nya.”[29] Dan kadar cahaya yang terpancar dalam hati berbeda-beda antara satu sufi dengan yang lainnya, tergantung kepada kadar kedekatannya dengan tuhan. Kedekatan yang merupakan implikasi dari cinta Ilahi yang menguasainya, sehingga tidak ada ruang dalam hatinya kecuali untuk-Nya.
Dengan cinta itu ia menjadi fana pada Allah, sehingga ia terjaga sebagaimana seorang nabi maksum. Terjaga dan maksum dari melanggar shara´. Dalam arti bahwa seorang nabi dan seorang wali tidak berbuat maksiat kepada Allah dan tidak melaksanakan hal-hal yang menyimpang dari shara´. Akan tetapi seorang nabi tidak melakukan kemaksiatan disebabkan karena ke´is}mahan-nya, yaitu hal yang diciptakan Allah padanya. Allah memberikannya kekuatan penolak untuk melawan kemaksiatan tersebut. Sedangkan seorang wali seperti kebanyakan orang, dapat berbuat maksiat ataupun dapat melakukan ketaatan, akan tetapi Allah menjaganya dari maksiat dengan melimpahkan cahaya dalam hatinya sebagai petunjuk dan memalingkannya dari perbuatan maksiat tersebut.
Keterkaitan antara kenabian dengan kewalian pada hakekatnya terletak pada kemampuan keduanya untuk berhubungan dengan alam yang lebih tinggi dan menguak tabir kegaiban melalui pintu imajinasi. Karena kedekatan dan kecintaan Allah kepada mereka mereka mempunyai daya imajinasi yang lebih. Nabi diberikan mukjizat dan wahyu dan wali diberikan karamah dan hadi>thsesuai dengna kadar ittiba´nya terhadap nabi tersebut. Kewalian tersinarkan oleh cahaya kenabian dan tidak mungkin akan melebihi kenabian itu.[30]
Mimpi Sebagai Bagian dari Kenabian.
Dalam tradisi keislaman, tasawuf khususnya, dikenal dua istilah untuk kata mimpi yakni ah}la>m dan ru’ya>. Kata ah}la>m adalah jamak dari h}ulm yang berasal dari kata h}alama – yah}lumu – h}ulman. Kata ini dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan kata ad}gha>th(jamak dari d}aghth) untuk menunjukkan arti kecemasan-kecemasan ilusif dan kebercampur-adukan yang membingungkan dan membutuhkan kejelasan apa yang dilihat dan kuatnya gambaran yang hadir. Dengan kata lain bahwa mimpi jenis ini selalu menunjukkan mimpi campur aduk yang tidak jelas maknanya dan untuk menunjukkan kekacauan, atau bermakna mimpi buruk seperti nightmare dalam bahasa Inggris. Dan mimpi ini selalu dikaitkan dan disandarkan kepada syetan. Hal ini berdasarkan penjelasan nabi dalam salah satu haditsnya.[31]
Sedangkan kata al-ru’ya>[32] berasal dari akar kata ra’a> – yara> - ra‘yu atau ru’yah, yang berarti melihat. Kata-kata tersebut, walaupun berasal dari akar kata yang sama namun menghasilkan variasi-variasi retorika dikarenakan perbedaan konteks-konteks penandaannya. Al- ru’yah dipergunakan untuk penglihatan indrawi dalam keadaan sadar, dalam bahasa Ibn H{ajar al-´Asqala>ni>disebut al-khawa>t}ir,[33] sedangkan al-ru’ya> adalah melihat dalam keadaan tertidur, dan al-ra’yu menunjukkan pemikiran dan simbol-simbol.[34]
Al-Ru’ya>, mimpi yang benar, membawa pesan penting berupa kabar baik dari Allah sehingga memotivasi seseorang untuk melakukan perbuatan baik, atau memberinya petunjuk, atau bahkan membawa pesan yang merupakan peringatan dari-Nya yang berkenaan dengan dosa kita sehingga kita akan lebih berhati-hati dan berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Mimpi ini sangat jelas dan tidak mudah kita lupakan. Al-Ghaza>li> mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui hakekat mimpi ini, dia tidak akan tahu hakekat-hakekat yang tersembunyi dalam mimpi tersebut, seperti hakekat bermimpi para rasul serta hakekat bermimpi bertemu Allah.[35]
Baik al-h}ulm maupun al-ru’ya> sering terjadi dalam kondisi tidur. Al-Kindi mengatakan bahwa tidur adalah pengambil alihan jiwa atas seluruh alat indera. Keadaan tidur dapat dicapai saat manusia tidak menggunakan indera eksternalnya walaupun pada saat itu ia berada dalam proses berpikir yang mendalam, karena jiwa pada dasarnya tidak pernah tidur, bahkan ia selalu tahu dan sadar.[36]
Ibn Arabi menjelaskan bahwa tidur ada dua jenis. Yang pertama adalah tidur biasa dimana seseorang dapat memenuhi hasratnya, dan untuk menghilangkan kepenatan tubuh. Itulah tidur yang dimaksudkan di dalam firman Tuhan, bahwa tidur adalah untuk mengistirahatkan setiap bagian tubuh dan menghilangkan kepenatan, dan merupakan saudaranya kematian. Dan yang kedua adalah tidur transferal (intiqa>l), yaitu tidur yang biasanya terdapat mimpi-mimpi. Jiwa tertransferasikan dari yang kasat mata menuju yang gaib, sehingga mampu melihat apa yang terdapat di dalam perbendaharaan imajinasi (khiza>nat al-khaya>l), dimana perasaan mampu mengangkat objek-objek indrawi, dan yang memperoleh bentuk dari Sang Pemberi Bentuk, sebagai bagian dari perbendaharaan.[37]
Keadaan transferal dikarenakan makna-makna tertransferasikan dari kesatuan sebuah substrata ke dalam suatu keadaan wujud yang terbungkus di dalam substrata, sebagaimana pengejawantahan Yang Nyata di dalam bentuk jasad korporeal, ilmu dalam bentuk susu, ataupun hal-hal yang serupa.
Mimpi memiliki sebuah wadah, lokus, dan suatu keadaan di dalam dunia imajinasi. Lokus mimpi adalah wilayah elemental; ia tidak memiliki lokus lain. Para malaikat tidak pernah mengalami mimpi, karena mimpi hanya milik makhluk yang mendiami wilayah elemental. Lokus mimpi adalah sebagian dari ilmu Tuhan, yakni transmutasi melalui bentuk-bentuk penyingkapan diri. Maka, segala sesuatu yang terjadi dalam mimpi tiada lain adalah kebenaran yang terbungkus di dalam kelelahan dan kepenatan kita.[38]
Perwujudan mimpi adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak tenggelam dalam tidur.[39] Bahkan dalam keadaan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainnya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.[40]
Al-Fara>bi>[41] menyatakan bahwa pada saat manusia tidur, daya imajinasi dapat mengakses sketsa-sketsa inderawi yang disimpan. Selanjutnya daya imajinasi menyusun dan memisahkan sketsa-sketsa tersebut dan kemudian melakukan peniruan dengan menyusun sketsa inderawi yang tersimpan sesuai dengan pengaruh yang manusia alami pada saat tidur. Terkadang daya imajinasi dapat menerima hal-hal yang rasional karena menirunya dan hal-hal inderawi yang menjadi strukturnya, dan kadang-kadang menerima hal-hal inderawi seperti yang ia khayalkan atau dengan menirunya melalui hal-hal inderawi lainnya.
Manusia mempunyai kemampuan yang berbeda dalam kekuatan daya imajinasi dan kesiapan jiwa mereka. Hal ini berakibat pada hubungan dengan Alam Tinggi (Akal Aktif) dan penerimaan berbagai gambar darinya. Berakibat juga pada perbedaan mimpi seseorang.
Seseorang, ketika jiwanya tidak disibukkan dengan pengaruh-pengaruh indera lahirah dan diperkuat dengan keutamaan ruhaniah, maka jiwanya akan dapat berhubungan dengan induknya yang suci dan dapat berkomunikasi dengan akal aktif. Sehingga ia dapat menerima informasi tentang hal-hal yang gaib. Sebab jiwa merupakan alam transendental, sehingga dapat mengenal sesuatu yang transendental pula.[42]
Ketika daya imajinasi berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sekedar kekuatan, maka ia mempertahankan apa yang telah diperoleh. Lebih dari itu, khayalan menetap padanya tanpa harus dikalahkan oleh khayalan lain dan berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia akan menjadi mimpi yang tidak perlu ditakwilkan.[43]
Terkadang daya imajinasi sangat kuat pada sebagian orang, sehingga masukan dari daya indera tidak menghalanginya untuk membantu jiwa rasional dalam berhubungan dengan prinsip-prinsip luhur yang memberinya inspirasi mengenai berbagai perkara parsial pada saat sadar serta penerimaan gambar-gambar yang berasal darinya. Kemudian daya imajinasi melakukan sesuatu yang sama pada saat bermimpi yang membutuhkan takwil; dengan cara mengambil semua situasi dan menirunya serta menguasai inderawi, sehingga mempengaruhi apa yang ia imajinasikan di dalam daya imajinasi melalui pembentukan berbagai gambar yang diperoleh di dalam indera kolektif.
Akibatnya ia mampu menyaksikan gambar-gambar ilahiah yang menakjubkan dan nyata, serta kata-kata ilahiah yang dapat didengar seperti persepsi kewahyuan. Itulah tingkat makna yang terendah dari kenabian. Sementara itu, tingkat makna yang lebih kuat adalah jika situasi dan gambar tetap bertahan sesuai dengan kondisinya, dengan cara mencegah daya imajinasi untuk kembali menirunya dengan segala sesuatu yang lain.[44]
Lebih jauh al-Kindi> menyatakan bahwa jika daya imajinasi sangat siap untuk menerima pengetahuan yang ada di dalam jiwa, maka jiwa universal akan mengabarkan tentang segala sesuatu yang belum terjadi. Tetapi jika daya imajinasi tidak terlalu siap maka jiwa akan mengabarkan pengetahuannya dalam bentuk simbol. Namun jika daya imajinasi lebih lemah untuk menerima simbol sejati, maka mimpi akan menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang dilihat orang di dalam mimpi. Dan jika daya imajinasi tidak dapat menerima pengetahuan tersebut maka mimpi akan menjadi tidak teratur, rancu, dan tidak jelas. Mimpi inilah yang disebut ad}ghath ah}la>m (bunga tidur) atau mimpi yang tidak menunjukkan apa-apa.[45]
Kadar kelebihan jiwa dalam hal kesucian dan kejernihan menentukan kadar kebenaran mimpinya. Dari Nabi Saw.disebutkan, tidak ada yang tersisa dari kenabian kecuali berita-berita baik, yaitu mimpi yang benar seseorang. Dan mimpi yang benar itu salah satu bagian dari dua puluh enam bagian kenabian, atau empat puluh enam bagian dari kenabian, hingga tujuh puluh bagian dari kenabian.[46]
Mimpi inilah yang dikatakan Ibn ‘Arabi sebagai mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbol-simbolnya. Di sini imajinasi[47] tidak campur tangan. “Hati” langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma’a>ni> ghaibiyyah) sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran. Mereka adalah wahyu-wahyu Yang Riel itu sendiri, dan mimpi-mimpi itu berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.[48] Dan inilah yang dalam pandangan tasawuf disebut dengan mimpi nubuwwah.
Cara Mengakses Mimpi Yang Benar.
Hakekat tasawuf[49] adalah akhlaq yang merupakan internalisasi dari ihsan. Hal itu dipertegas oleh ungkapan Ahmad al-Jurairi ketika ditanya tentang tasawuf, beliau mengatakan tasawuf adalah memasuki setiap akhlaq yang mulia dan keluar dari setiap akhlaq tercela.[50] Perwujudan dari konsep akhlaq ini dilakukan dengan cara penyucian jiwa yang dalam terminologi tasawuf biasa disebut dengan tazkiyah al-nafs, melalui serangkaian latihan-latihan (riyad}ah) dan memerangi (muja>hadah) nafsu rendah.
Konsep ini lebih dikenal dengan takhalli, tah}alli dan tajalli. Takhalli yaitu melepaskan diri dari ikatan-ikatan dan sifat-sifat tercela yang mengotori hati, di mana pada saat yang bersamaan hati dihiasi (tah}alli) oleh hal-hal yang menjernihkan cermin hati yang dengan demikian dapat bertajalli atau memanifestasikan sifat-sifat dan asma Allah.
Proses bertakhalli, bertah}alli, dan bertajalli tersebut harus melalui serangkaian olah batin dalam perjalanan menapaki tangga-tangga ruhani secara bertahap, tapak demi tapak. Hal ini dikarenakan jiwa manusia tidak dapat sampai pada hadirat Ilahi jika belum benar-benar dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggunya dan menjadi fana>’ (lebur) dari sifat-sifatnya sendiri.
Ilustrasi yang sangat indah tentang proses perjalanan ini dilukiskan oleh Fari>d al-Di>n al-At}t}a>r dalam kitabnya Mantiq al-T{air.Buku tersebut menceritakan sekelompok burung, yang merupakan simbolisasi dari jiwa, melakukan perjalanan melalui tujuh lembah penyucian dipimpin oleh burung hudhud, untuk menemui raja mereka, Simurgh, yang menciptakan segala macam burung dari sehelai bulunya “bulu keajaiban” yang jatuh di kegelapan malam.[51]
Sekelompok burung tersebut memulai perjalanan yang sangat jauh dan berat setelah mendapat arahan dan petunjuk dari sang pimpinan rombongan hudhud. Dimulai dari melewati lembah t}alab, kemudian ke lembah ´ishiq, lalu ke lembah ma’rifat, lembah istighna>, lembah tauh}i>d, lembah hi>rah, dan sampai pada lembah faqr wa ghina>’, di mana masing lembah mencerminkan tingkatan-tingkatan dari perjalanan itu. Dalam perjalanan tersebut masing-masing burung menemui dan melihat rintangan-rintang yang berbeda-beda sesuai dengan kesiapan masing-masing. Tidak sedikit yang menyerah dan mundur di tengah jalan. Sehingga yang benar-benar dapat menyelesaikan perjalanan tersebut hanya tiga puluh burung saja. Yaitu mereka yang sabar dan berusaha terus menerus untuk mengatasi rintangan-rintangan dan halangan-halangan perjalanan itu. Dan ketika mereka sudah berada di hadapan raja, Simurgh, jiwa mereka telah lebuh dan hijab telah terbuka sehingga mereka dapat menyaksikan sang raja. Di sini mereka menyaksikan Si Mur Gh, tiga puluh burung atau mereka menyaksikan yang banyak dalam kesatuan. Dan ketika mereka berpaling menyaksikan diri mereka, yang mereka lihat adalah kesatuan dalam yang banyak, Simurgh. Hal ini membingungkan mereka sehingga dikatakan kepada mereka bahwa kehadiran ini adalah cermin di mana orang yang melihat kepada cermin itu tidak akan melihat kecuali dirinya sendiri.[52]
Pada intinya adalah orang yang dapat membuka tabir pemisah, dan dapat menghadirkan diri di hadapan al-H{aq ialah orang yang telah menyucikan diri dari debu-debu maksiat dan melepaskan sekat-sekat material yang ada pada dirinya dan terbang di alam ruhani.
Demikian juga halnya bagi orang yang ingin agar dapat mengakses mimpi yang benar, agar selalu dapat membersih diri dan menyucikannya (bert}aharah) sebelum ia pergi tidur. Hal ini sesuai dengan anjuran nabi untuk bert}aharah terlebih dahulu sebelum tidur. Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa “seorang hamba jika tidur dalam keadaan suci, dia akan keluar bersama ruhnya menuju ‘arsh, maka mimpinya adalah mimpi yang benar, akan tetapi jika dia tidak dalam keadaan suci, ruhnya tidak mampu mencapai ‘arsh, maka mimpinya adalah mimpi kacau tidak dapat dipercaya.[53]
Yang dimaksud dengan suci di sini, menurut al-Ghazali, adalah suci lahir batin. Suci batin merupakan esensi dari taharah tersebut sedang suci lahir merupakan pelengkap dari suci batin tersebut.[54] Batinnya harus suci dari hawa nafsu dan keinginan-keinginan mencintai dunia, serta suci dari kotoran-kotoran hasad dengki. Dengan demikian jiwanya dapat menjadi cermin dari apa-apa yang telah ditentukan dan dituliskan dalam al-Lauh} al-Mah}fu>z}, dan apa-apa yang akan terjadi nantinya, dan dapat melukiskan keajaiban-keajaiban dari dunia gaib.[55]
Salah satu cara untuk menyucikan diri ialah dengan dhikir mengingat Allah yang diawali dengan melepaskan segala macam bentuk hubungan dengan dunia dan mengosongkan hati dari keinginan-keinginan akan derajat, kekayaan, ilmu, kewalian, dan kedudukan serta penghormatan. Sehingga jiwa, perasaan dan hatinya sampai pada tarap adanya segala sesuatu sama saja dengan tiadanya. Kemudian ia mulai mengasingkan dirinya untuk bermunajat dengan melakukan şalat wajib dan sunnat. Hatinya tetap kosong tidak memikirkan yang lain kecuali dalam benaknya hanya ada Allah. Lidahnya tidak berhenti-henti menyebut kata “Allah”, “Allah”, “Allah” dengan menghadirkan hatinya, sampai pada tarap lidah berhenti bergerak akan tetapi hatinya berdetak menyebutkan lafaz} itu, tidak hanya itu lafaź itu telah terpatri dalam hatinya.
Manakala keinginannya benar-benar jujur, dan hasrat bersih murni, dan ia rajin melakukannya, serta tidak disibukkan oleh bisikan-bisikan jiwa dan tertarik oleh dorongan-dorongan syahwatnya, maka pancaran-pancaran al-H{aq akan tertanam dalam hatinya.[56]
Kejujuran merupakan suatu hal yang penting dan menjadi kunci untuk membuka tabir yang menghalangi jiwa untuk berkomunikasi dengan alam yang lebih tinggi. Kejujuran yang dimaksud adalah kejujuran dalam segala hal, khususnya dalam perkataan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang menyatakn bahwa orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur perkataannya.[57]
Kesiapan seseorang untuk dapat mengakses mimpi yang benar sangat terkait erat dengan kualitas jasmani dan ruhaninya saat menjelang tidur. Seseorang yang beranjak tidur dalam keadaan sehat dan bersih jasmani serta ruhaninya akan memiliki syarat untuk dapat mengakses mimpi yang benar. Mereka itu adalah orang-orang yang selalu berdhikir, berdoa kepada Allah agar tidurnya berada dalam naungan Allah.
Jika demikian halnya, maka dia akan mendapatkan illuminasi yang merupaka hasil dari proses perjalanan menapaki tahapan-tahapan muja>hadah, tazkiyah al-nafs, tersebut.
Kesimpulan
Dalam perspektif sufistik dapat dikatakan bahwa mimpi nubuwwah atau mimpi yang merupakan bagain dari kenabian adalah mimpi di mana kesan-kesan spiritual direfleksikan langsung oleh hati tanpa campur tangan imajinasi. Mereka adalah wahyu-wahyu Yang Riel itu sendiri, dan mimpi-mimpi itu berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar.
Kemampuan mimpi ini untuk berfungsi semakin besar jika berada dalam keadaan tanpa pengaruh indera dan energi jiwa diarahkan ke dalam jiwa itu menuju alam malaku>t melalui serangkaian riya>d}ah. Di sinilah mungkin sebabnya mengapa orang yang mempunyai kemampuan imajinasi lebih, belum tentu dapat mengakses mimpi yang benar jika tidak dibarengi dengan usaha pembersihan jiwa dengan muja>hadah al-nafs. Dan ini berarti bahwa mimpi nubuwwah hanya dapat diterima oleh orang-orang yang telah membersihkan diri dari kotoran-kotoran jiwa duniawi dan yang telah sampai (al-wa>s}ilu>n) ke dalam hadirat Ilahi. Wa Allah ‘alamu bi al-s}awa>b
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Aisyah, Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997).
Afîfi, Abu al-´Ela>, al-Tas}awuf al-Thaurah al-Ru>h}iyah fi al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Ma´a>rif, 1963).
Afifi, Abu al-´Ela>, The Mystical Philosophy of Muh}yid Dîn Ibnul ‘Arabî, (Cambridge: University Press, 1939).
al-´Asqala>ni>, Al-H{a>fiz} Ibn H{ajar, al-Ru’a> wa al-Ah}la>m fi D{au’ al-Kita>b wa al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Tura>th al-Isla>mi>, 1977).
al-Fara>bi>, A<ra>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah (Kairo: Maktabah Muhammad Ali S{{ubaih}, t.th.).
al-Ghazali, Abu H{a>mid Muh}ammad, al-Munqidh min al-D{ala>l, (Beirut: al-Maktabah al-Sha’biyah, t.th.).
_______, Ma’a>rij al-Quds fi Ma’rifah Mada>rij al-Nafs, Muhammad Musthafa Abu al-Ela (ed.), (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968).
_______, “al-Mad}nu>n Bihi> ´ala> Ghair Ahlihi>” dalam Majmu>’ah Rasa>il al-Ghaza>li> (Kairo: Da>r al-Fikr, 1991).
al-Hujwiri, Ali Ibn Utsman, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo dan Abdul Hadi W, (Bandung: Mizan, 1992).
al-Juyu>shi, Muhammad Ibrahim, al-H{aki>m al-Tirmidhi>; Muhammad Ali al-Tirmidhi> 320 H Dira>sah li Atha>rihi wa Afka>rihi, (Kairo : Dar al-Nahd}ah al-Arabiah, 1980).
al-Mas}ri>, Ibn Manz}u>r al-Ifriqi>, Lisa>n al-‘Arab, jilid 15, (Beirut: Da>r S{a>dir, 1990), Cet. I.
al-Qurt}ubi>, Abi> al- Abba>s Ah}mad Ibn Umar, Talkhi>s} S{ahi>h al-Ima>m Muslim, diedit oleh Ra’fat Fauzi Abd. Al-Ghani, Jilid II (Kairo: Da>r al-Sala>m, 1993), Cet II.
al-Shaira>zi>, S{adr al-Di>n Muh}ammad, al-Maz}a>hir al-Ila>hiyah, ditahqiq oleh Sayed Jalal al-Din al-Ashtiya>ni>, (Qum: Markaz Intisharat Daftar Tablîghât Islami, 1419 H), cet. II.
al-Suhrawardi, Haya>kil al-Nu>r, diedit oleh Muhammad Ali Abu Rayyan, (Kairo: al-Maktabah al-Tija>âriyah al-Kubra, 1957), cet. I.
al-Suhrawardi, Hikmah al-Ishra>q, diedit oleh H. Corbin, (Teheran: Academie Imperiale Iranienne De Philosophie, t. th).
al-T{u>si, Abu Nas}r al-Sarra>j, al-Luma´ (Kairo: Da>r al-Kutub al-Hadi>thah, 1960).
al-Tirmidhi>, Abu Abdillah Muhammad ibn Ali al-H{aki>m, Kita>b Khatm al-Auliya>’, ditahqiq oleh ´Uthman Isma´il Yahya, (Beirut: al-Mat}ba´ah al-Kathulikiyah, 1965).
al-Tirmidhi>, al-Ja>mi΄ al-S{ah}i>h} wa Huwa Sunan al-Tirmidhi>, jilid IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-΄Ilmiyah, t.th.).
Anwar, Cecep Ramli Bihar, (ed.), Menyinari Relung-relung Ruhani; Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (Jakarta: IIMAN, 2002).
Barakah, Abd al-Fatta>h Abdullah, Al-H{aki>m Al-Tirmidhi> Wa Naz}ariyatuhu Fi Al-Wala>yah, Jilid 2, (Kairo: Mat}bu>´at Majma´ al-Buh}u>th al-Isla>miyah, 1971).
Chodkiewicz, Michel, Konsep Ibn Arabi tentang Kenabian dan Kewalian, terj. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Sri Gunting, 1999).
Ibn Arabi, Muh}y al-Di>n, al-Futu>h}a>t al-Makiyyah, jilid 2 (Beirut: Dar S{a>dir, 1972).
Ibn Fa>ris, Mu´jam Maqa>yi>s al-Lughah, diedit oleh Abd. al-Salâm Ha>ru>n, jilid 6, (Kairo: Penerbit al-Qâhirah, 1371 H.).
Ibn Hambal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hambal, jilid II, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1978), cet. II.
Ma’luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-´Alâm, (Beirut : Dar al-Mashriq, 1987), cet. 28.
Madkour, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, jilid I, (Kairo: Dâr al-Ma`ârif, t. th.), cet. III.
Najati, Muhammad ‘Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998).
Sharif, M. M., A History of Muslim Philosophy with Short Account of Other Disciplines and The Modern Renaissance in Muslim Lands, Vol. I, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963).
[1]Nama ini diberikan untuk markas mereka yang bertempat di Jl. Mahoni no. 30 Kemayoran Jakarta. Lihat, Ahmad Syafi’i Mufid, “Kuasa Jibril dari Sufisme Perenial Salamullah hingga Spiritualisme Eden” dalam Martin Van Bruinessen dan Julia Day Howell (eds.) Urban Sufism (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 416.
[3]Cecep Ramli Bihar Anwar (ed.), Menyinari Relung-relung Ruhani; Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (Jakarta: IIMAN, 2002), 98-99.
[4]Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, jilid I, (Kairo: Dâr al-Ma`ârif, t. th.), cet. III, hlm. 73.
[7]M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy with Short Account of Other Disciplines and The Modern Renaissance in Muslim Lands, Vol. I, (Wiesbaden : Otto Harrassowitz, 1963), hlm. 463.
[9]Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-´Ala>m, (Beirut : Da>r al-Mashriq, 1987), cet. 28, hlm. 784.
[11]Abu Abdillah Muhammad ibn Ali al-H{aki>m al-Tirmidhi>, Kita>b Khatm al-Auliya>’, ditahqiq oleh ´Uthman Isma´il Yahya, (Beirut : al-Mat}ba´ah al-Kathulikiyah, 1965), hlm. 342.
[13]Muh}y al-Di>n Ibn Arabi, al-Futu>h}a>t al-Makiyyah, jilid 2 (Beirut: Dar S{a>dir, 1972), hlm. 90.
[14]Kesiapan di sini sebenarnya tidak hanya berupa kesiapan yang bersifat psikis saja, akan tetapi juga kesiapan secara intelektual dan fisikis. Karena menurut al-Hakim al-Tirmidhi, seorang nabi tidak hanya kuat secara mental, tetapi raga juga sehat dan kuat demikian juga halnya dengan intelektualnya. Lihat Abd al-Fatta>h Abdullah Barakah, Al-H{aki>m Al-Tirmidhi> Wa Naz}ariyatuhu Fi Al-Wala>yah, Jilid 2, (Kairo: Mat}bu>´at Majma´ al-Buh}u>th al-Isla>miyah, 1971), hlm. 122.
[16]Al-Hujwiri mengatakan bahwa konsep kewalian merupakan fondasi bagi pengetahuan tentang Tuhan. Dan pembicaraan tentang konsep ini tidak akan lepas dari seorang tokoh sufi abad ketiga hijriyah yaitu Muhammad ibn Ali al-Tirmidhi> yang lebih dikenal dengan al-H{aki>m al-Tirmidhi. Lihat Ali Ibn Utsman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo dan Abdul Hadi W, (Bandung : Mizan, 1992), cet. I, hlm. 195.
[17]Ibn Manz}u>r al-Ifriqi> al-Mas}ri>, Lisa>n al-‘Arab, jilid 15, (Beirut: Da>r S{a>dir, 1990), Cet. I, hlm. 406. Lihat juga Abu al-´Ela> Afîfi, al-Tas}awuf al-Thaurah al-Ru>h}iyah fi al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Ma´a>rif, 1963), cet. I, hlm. 290.
[18]Ibn Fa>ris, Mu´jam Maqa>yi>s al-Lughah, diedit oleh Abd. al-Salâm Ha>ru>n, jilid 6, (Kairo: Penerbit al-Qâhirah, 1371 H.), hlm. 141.
[20]Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn Arabi tentang Kenabian dan Kewalian, terj. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta : Sri Gunting, 1999), hlm. 15.
[25](QS, 42 : 13). Wali yang terpilih dan terangkat biasanya disebut dengan majdhu>b atau al-mujtab. Lihat Barakah, al-H{aki>m al-Tirmidhi>...,hlm. 78.
[26]Muhammad Ibrahim al-Jayushi, al-H{aki>m al-Tirmidhi>; Muhammad Ali al-Tirmidhi> 320 H Dira>sah li Atha>rihi wa Afka>rihi, (Kairo : Dar al-Nahd}ah al-Arabiah, 1980), hlm. 217.
[28]Ibn Arabi, al-Futu>h}a>t al-Makiyah, jilid II, hlm. 90. Lihat juga al-H{aki>m al-Tirmidhi>, Kita>b Khatm al-Awliya>’..., hlm. 480.
[29]Abu al-Ela> Afifi, al-Tas}awwuf; al-Thaurah al-Rûhiyah fi al-Islâm, selanjutnya disebut al-thaurah al-rûhiyah, (Kairo : Dâr al-Ma´a>rif, 1963), Cet. I, hlm. 295.
[36]Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 31. Lihat juga S{adr al-Di>n Muh}ammad al-Shaira>zi>, al-Maźâhir al-Ilâhiyah, ditahqiq oleh Sayed Jalal al-Din al-Ashtiya>ni>, (Qum: Markaz Intisharat Daftar Tablîghât Islami, 1419 H), cet. II, hlm. 172.
[41]Al-Fara>bi>, A<ra>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah (Kairo: Maktabah Muhammad Ali S{{ubaih}, t.th.), hlm. 72.
[42]Al-Suhrawardi, Hikmah al-Ishra>q, diedit oleh H. Corbin, (Teheran: Academie Imperiale Iranienne De Philosophie, t. th), hlm. 236. Lihat juga al-Suhrawardi, Haya>kil al-Nu>r, diedit oleh Muhammad Ali Abu Rayyan, (Kairo: al-Maktabah al-Tija>âriyah al-Kubra, 1957), cet. I, hlm. 85.
[46]Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa mimpi dikatakan sebagai bagian kenabian dengan mengaitkannya dengan masa turunnya wahyu. Wahyu dalam bentuk mimpi turun selama 6 bulan. Jika hal ini dikaitkan dengan masa keseluruhan turunnya wahyu selama 23 tahun atau 276 bulan, maka masa 6 bulan tersebut sama dengan satu per enam dari 276 bulan tersebut. lihat Ibn Arabi, al-Futu>h}a>t..., jilid II, hlm. 58. Lihat juga al-Asqala>ni>, al-Ru’a> wa al-Ah}la>m..., hlm. 10.
[47]Imajinasi ketika mencapai puncak kekuatannya dan dibantu oleh kekuatan yang dinamakan al-himmah, seorang sufi menurut Ibn Arabi dapat mendatangkan mimpi dan bahkan dalam keadaan sadar bayangan (imajinasi) yang diinginkan sufi tersebut. Sebagaimana diceritakan Ibn Arabi bahwa ia selalu menghadirkan bayangan sheikhnya dengan mengaktualisasikan kedua kekuatan tersebut ketika menemui suatu masalah yang tidak ia temukan jawabannya. Lihat Afifi, Fus}u>s} al-H{ikam..., jilid I, hlm. 88-89.
[48]Abu al-´Elâ Afifi, The Mystical Philosophy of Muh}yid Dîn Ibnul ‘Arabî, (Cambridge: University Press, 1939), hlm. 132.
[57]Hadith ini diriwayatkan dari Abu Hurairah. Lihat Ahmad ibn Hambal, Ibn Hambal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hambal, jilid II, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1978), cet. II, hlm. 269.