MIMPI SUFISTIK
(Telaah
atas Fungsi dan Substansi Mimpi Menurut Tasawuf)
Abstrak: Keberadaan mimpi dan arti pentingnya tidak dapat dipungkiri
oleh setiap tradisi keagamaan dan kemanusian.
Setiap zaman, orang cenderung untuk membicarakan dan mempertanyakan arti sebuah
mimpi. Mimpi bukan sekedar bunga tidur, yang datang dari nafsu rendah
seseorang, dan juga tidak berupa
dorongan-dorongan terpendam yang tidak dapat dimunculkan dalam dunia nyata,
dikarenakan oleh satu atau berbagai hal. Ia bahkan berasal dari dunia yang
lebih tinggi, alam malakût, dimensi spiritual manusia. Melalui tinjauan
fungsional-substantif penelitian ini, diketahui bahwa mimpi dapat berfungsi
sebagai sarana untuk menguak tabir-tabir misteri kegaiban dan kemenduaan alam
ini. Ia juga merupakan sarana untuk menunjukkan kadar kualitas spiritual
seseorang serta proses perjalanannya menuju Allah. Dengan demikian substansi
mimpi yang dialaminya akan berbeda sesuai dengan tingkatan jiwanya, walaupun
simbol-simbol yang ditampakkan akan sama. Substansi mimpi jiwa ammârah
berbeda dengan substansi mimpi jiwa lawwâmah. Sebagaimana substansi itu
juga berbeda pada tahap jiwa mulhamah dan jiwa muthmainnah.
Substansi jiwa ammârah lebih banyak dikendalikan oleh sifat api yang
merupakan simbolisasi dari syetan. Sedangkan jiwa lawwâmah dikendalikan
oleh sifat udara, jiwa mulhamah oleh sifat air dan jiwa muthmainnah
oleh sifat tanah.
Kata Kunci: mimpi, tasawuf, jiwa ammârah, jiwa lawwâmah,
jiwa mulhamah, jiwa muthmainnah
PENDAHULUAN
Setiap makhluk
hidup, khususnya manusia, mutlak memerlukan tidur untuk meringankan dan
merelaksasikan – untuk tidak mengatakan mengistirahatkan – proses kerja seluruh
anggota badannya. Tidur diperlukan tidak hanya untuk meringankan beban fisik
dan relaksasi otot-otot saja setelah seharian bekerja secara konstan, akan
tetapi juga untuk istirahat secara psikologis. Sebab kurang tidur dapat juga
mengakibatkan gangguan psikis, seperti paranoid.[1]
Selama tidur normal
pada malam hari, gelombang otak[2]
kita menunjukkan perubahan yang jelas dan sistematis dalam frekuensi dan
amplitudonya.[3]
Ketika kita beranjak
tidur dan mulai merebahkan badan lalu menutup mata dan rileks, gelombang otak
ini menunjukkan pola teratur. Dalam tahap ini denyut-denyut jantung menurun,
elahan nafas lebih teratur dan perlahan, serta dibarengi dengan gerakan tubuh
yang berganti-ganti posisi.
Setelah melewati beberapa stadium tidur (stadium 1-4), di
mana penurunan frekuensi dan amplitudo dari gelombang otak ini sangat tajam dan
lebih lambat, gelombang otak ini akan aktif kembali dan bahkan lebih aktif
dibandingkan pada saat terjaga. Peningkatan aktifitas gelombang otak ini
terjadi pada tahap tidur REM (Rapid Eye Movement). Hal ini disebabkan
oleh adanya aliran darah yang sangat banyak ke otak.
Tidur pada tahap ini ditandai dengan adanya gerakan mata
yang sangat cepat (REM), meningkatnya kecepatan denyut jantung dan metabolisme
otak. Namun walaupun otak sedang aktif fungsi tubuh pada saat ini nyaris
lumpuh.[4] Pada tahap inilah mimpi diindikasikan
sering terjadi, sebagian besar orang
yang dibangunkan ketika dalam periode ini akan melaporkan dan mengingat
mimpinya.[5]
Dalam tradisi kemanusiaan dan keagamaan mimpi bukan hanya
sekedar bunga tidur yang tidak mempunyai makna. Keadaan mimpi telah diakui
sebagai suatu dimensi penting dari pengalaman hidup. Mimpi tidak hanya diakui
dalam dunia Islam saja, akan tetapi juga diakui oleh dunia Kristen, Yahudi dan
Yunani Kuno. Dalam Bibel misalnya, mimpi dianggap sebagai petunjuk.
Terhindarnya bangsa Mesir dari bahaya kelaparan karena petunjuk Tuhan melalui
mimpi Fir’aun yang diinterpretasikan oleh Yusuf. Demikian juga halnya dengan
penyelamatan Kristus ke Mesir, menurut Perjanjian Baru, adalah sebagai
konsekuensi dari mimpi Yusuf. Dalam kebudayaan Yunani Kuno, mimpi dianggap
sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi bukan sekedar pengalaman imajinatif.
Dan sebagai konsekuensi dari anggapan itu mereka berusaha untuk menciptakan
keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya mimpi tersebut.[6] Begitupun dengan bangsa Romawi, Alexander
The Great misalnya, ketika hendak melakukan infansi militer selalu membawa
seorang ahli penakwil mimpi. Menurut suatu cerita bahwa ketika Alexander hendak
menaklukkan kota Tyre, pada malam harinya ia bermimpi seseorang sedang
menarikan tarian kemenangan. Ketika mimpi itu ia ceritakan kepada ahli penakwil
mimpinya, ia dianjurkan untuk meneruskan rencananya sebab mimpi itu bermakna
kemenangan baginya.[7]
Dalam dunia Islam, kita mengenal dengan apa yang
dinamakan shalat istikharah. Melalui shalat ini kita meminta petunjuk dan
penerangan Ilahi dalam menentukan suatu pilihan yang benar. Petunjuk dan
penerangan tersebut dapat diperoleh melalui intuisi bawah sadar dalam mimpi.[8] Dan suatu hal yang sering dilakukan oleh
Nabi setiap paginya menanyakan para sahabatnya dengan suatu pertanyaan “apakah
ada di antara kalian yang bermimpi semalam?”[9]
Sedangkan dalam tasawuf, pentingnya mimpi
hampir tidak dapat diragukan lagi, ia merupakan etos spiritual yang ditemukan
di dalam tradisi profetik Islam. Mimpi-mimpi itu menjadi spirit dan bimbingan
bagi langkah-langkah mereka dalam meniti kehidupan,[10] terlebih lagi jika mimpi itu adalah mimpi
bertemu Rasulullah Saw. Ibn ‘Arabi misalnya mengatakan bahwa di antara sebab ia
menulis buku karyanya Fushûsh al-Hikam
adalah atas perintah Rasulullah yang ia terima melalui mimpi.[11] Demikian juga halnya dengan magnum
opus-nya bersumber dari visi-visi dan mimpi-mimpinya yang dibukakan dan
ditampakkan untuknya.[12] Al-Junaid juga mau melaksanakan
permintaan Sari al-Saqati untuk memberi pelajaran secara umum setelah ia
bermimpi bertemu Rasulullah yang menyuruhnya melaksanakan perintah tersebut.[13] Mimpi Abu Sa´id al-Kharraz tentang
pertemuannya dengan Rasulullah memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang
posisi Muhammad dalam cinta kepada Tuhan. Dalam mimpinya, al-Kharraz mendengar
Rasulullah berkata “Barang siapa yang mencintai Tuhan, harus pula mencintaiku.”[14] Lebih dari pada itu bahwa salah satu di
antara kriteria-kriteria seseorang dikatakan sebagai wali adalah bahwa ia
mendapat bimbingan ruhani dari Rasulullah melalui perjumpaan dengannya dalam
mimpi.[15]
Dalam dunia
tarekat, mimpi merupakan unsur penting dan alat untuk mengukur perkembangan dan
kemajuan tahapan-tahapan spiritual seorang murîd. Sang murîd
harus melaporkan mimpi-mimpi yang dialaminya selama melakukan latihan-latihan
dzikir sewaktu dalam khalwat untuk kemudian diinterpretasikan oleh sang mursyid.[16]
Mimpi merupakan refleksi dari tingkat material dan mental seorang murîd,
yang juga merefleksikan makna yang lebih tinggi dan lebih halus. Semakin beradab seseorang secara
spiritual, maka akan semakin halus alam dan arti mimpinya. Semakin terangkat
seseorang secara spiritual, makin besar kemungkinannya menerima mimpi yang
benar.[17]Abu al-´Abbas al-Mursi mengetahui dirinya akan menggantikan Abu
al-Hasan al-Syadzili sebagai pemimpin tarekat al-Syadziliyah melalui
mimpi.[18]
Berangkat dari
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka tulisan ini mencoba untuk
menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah perspektif tasawuf tentang mimpi? Untuk
lebih memfokuskan dan mengarahkan tulisan ini, maka makalah ini
menitik-beratkan pada fungsi dan substansi mimpi menurut tasawuf.
PEMBAHASAN
Dunia mimpi adalah
milik manusia. Mimpi bukan dunia
milik para malaikat ataupun binatang. Manusia dengan potensi dan kualitasnya
sangat berbeda dengan makhluk lainnya. Hewan tidak akan pernah dapat bermimpi
karena secara potensial mereka tidak memiliki daya imajinasi dan akal yang
mampu menggambarkan makna-makna simbolis. Demikian juga malaikat hanya mampu
memberikan makna tanpa dapat memberikan bentuk konkrit dari makna tersebut.
Ketika seseorang bermimpi banyak faktor-faktor dan
stimulus-stimulus yang mempengaruhi mimpinya.
Jikalau ia tertidur dan keadaan kondisi fisik yang lebih mendominasi,
mimpinya dipastikan lebih berorientasikan fisikal. Sebagai contohnya ketika kakinya
basah terkena air, maka mimpinya bisa jadi seakan-akan ia sedang berjalan di
atas air. Atau ketika organ pendengaran (telinga) mendengar alunan musik, maka
ia akan bermimpi sedang bernyanyi.
Jika kondisi psikologis kita yang mendominasi tidur kita,
maka kebanyakan gambaran yang muncul dalam mimpi kita akan berupa gambaran
psikologis. Contohnya, seorang anak yang pada siang harinya bertengkar dengan
orang tuanya, dia akan bermimpi disiksa oleh ibu dan bapaknya.
Namun tidak selamanya mimpi itu akan berorientasikan
fisikis maupun psikologis. Adakalanya berorientasikan spiritual, jika kondisi
tidur lebih didominasi oleh kondisi spiritual. Sehingga mimpi yang alami
merupakan percikan-percikan ilmu Tuhan yang disampaikan-Nya.
Untuk dapat lebih memahami hakekat-hakekat dari mimpi
tersebut di atas, maka adalah suatu keniscayaan untuk mengetahui hubungan pola
kerja antar fisik, psikologi dan spiritual kita.
Hubungan antara
Jasad, Jiwa, dan Ruh.
Esensi manusia adalah kesatuan antara alam syahâdah yang disimbolkan
oleh jasad dengan alam malakût yang disimbolkan oleh ruh.[19] Atau dengan kata lain, manusia diciptakan
dari perpaduan unsur materi dan unsur non-materi, antara unsur kebutuhan dengan
motif fisiologis dan unsur kebutuhan psikologis, antara unsur kebinatangan
dengan unsur kemalaikatan. Kedua unsur tersebut walaupun saling berlawanan dan
bertentangan, tetapi saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi
yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak teraktualisasikan.
Fungsi dasar ruh adalah untuk mengarahkan dan mengendalikan tubuh.
Benda-benda tubuh terbuat dari tanah liat yang mudah retak dan tidak memiliki
kesatuan inheren. Walaupun dibakar, tanah liat bisa jadi tampak keras, tetapi
ia dapat dipatahkan. Sebaliknya ruh yang terbuat dari cahaya merupakan sebuah
realitas tunggal, berupa getaran dari Allah. Cahaya adalah satu dan kegelapan
adalah keanekaragaman. Sesuatu yang beragam tidak dapat menggalang kebersamaan
karena mereka tidak konsisten terhadap sebuah realitas yang menyatu.
Ruh manusia berasal dari hembusan “nafas” Tuhan ke dalam tubuh manusia. Ruh
tersebut memberikan keutuhan dan integritas bagi sekumpulan sel, organ, dan
bagian-bagian tubuh lainnya. Tetapi masing-masing bagian tubuh tersebut
memiliki kemandirian tertentu yang dijaga oleh ruh-ruh dari organ-organ individual.[20]
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, ruh yang bersifat immateri tidak dapat
mengimplementasikan peranannya tanpa perantara tubuh. Jiwa merupakan
manifestasi yang menjadi mediator antar ruh dan jasad. Jiwa berada di
tengah-tengah dua alam yang fundamental tersebut, dan memiliki atribut
keduanya.[21]Jiwa mencerminkan pertemuan antara ruh
dan tubuh, antara cahaya dan kegelapan, antara kehidupan dan kematian, antara
kesadaran dan ketidaksadaran. Apapun yang tampak pada manusia merupakan
campuran antara pengetahuan dan ketidaktahuan, antara daya dan ketidakberdayaan,
antara kehendak dan tidak berkehendak. Jiwa adalah tempat pertemuan keinginan
ruh dan kemampuan tubuh untuk melakukan sesuatu. Keinginan ruh hanya dapat
terartikulasikan jika dilakukan oleh bahasa tubuh. Gerakan kesadaran yang belum
terartikulasikan menjadi sebuah perbuatan dapat terjadi melalui peranan jiwa.
Jiwa berasal dari
alam spiritual yang membawa entitas-entitas spiritual ke dalam hubungan
entitas badaniyah dengan memberikan
realitas psikis dengan atribut-atribut yang bersifat fisikal.[22]
Sehingga jika dikaitkan dengan ruh, jiwa bersifat badaniah, sebab jika
dibandingkan dengan ruh, ia memiliki sifat-sifat tubuh seperti kegelapan, mati,
bodoh, lemah, dan sebagainya.[23]Tetapi
jika dikaitkan dengan jasad, jiwa bersifat spiritual karena memiliki seluruh
sifat ruh seperti cahaya, hidup, mengetahui, berkuasa, dan sebagainya. Jiwa
adalah “imajinasi”. Ia adalah bayangan sebuah tubuh dan bayangan sebuah ruh.
Tetapi ia bukanlah ruh sejati dan bukanlah tubuh sejati.
Perkembangan jiwa manusia berlangsung
di dalam sebuah dunia bayangan. Jiwa yang berasal dari alam non-fisik,
mula-mula, harus menjadi “kurang halus” dan menjadi lebih konkrit. Dalam proses
ini, ia menjadi jiwa nabati (nafs nabâtiyyah), yang memungkinkan bentuk
di dalam rahim mempunyai fungsi makan, minum, dan tumbuh, seperti tumbuhan;
kemampuan mentransformasikan substansi luar ke dalam bentuk sendiri.
Ketika bentuk
manusia tumbuh di dalam rahim, ia mengembangkan jiwa hewani (nafs
hayawâniyyah), di mana ia mendapatkan kemampuan untuk bergerak. Pada saat
kelahiran, jiwa hewani disempurnakan, karena bentuk manusia memperlihatkan
berbagai hasrat. Pada awal perkembangan manusia inilah, sifat-sifat tanzîh
sangat mendominasi, karena sifat-sifat ketuhanan dari ruh hampir tidak dapat
dilihat pada diri seorang bayi.
Namun baru
menjelang dewasalah, jiwa tumbuh dari kesadaran potensialnya ke kesadaran
aktualnya yang ditandai dengan tumbuhnya jiwa rasional (nafs nâthiqah)[24]
dengan mengikuti petunjuk-petunjuk kenabian. Dengan begitu sifat-sifat ketuhanan akan semakin tampak.
Cahaya yang suram bersinar pada masa awal perkembangan menjadi semakin terang
dan jelas seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran manusia. Pada
saat inilah pencarian jiwa baru dapat dimulai. Kemampuan untuk mentransformasikan
diri menjadi ada.[25]
Hal ini berimplikasikan pada adanya tingkatan-tingkatan jiwa manusia yang
menurut al-Ghazali dibagi menjadi lima tingkatan,[26]
yaitu:
a)
al-hiss memiliki kesadaran yang bersifat alami dan kualitasnya
rendah.
b)
al-khayâli yang berfungsi sebagai penyimpan kesan-kesan yang
diperoleh melalui panca indera, dan menyampaikannya ke jiwa yang berikutnya.
c)
al-´aqli yang merupakan penemu makna-makna yang terkandung di
balik fenomena-fenomena, di luar kedua jiwa sebelumnya.
d)
al-fikri yang mengambil ilmu-ilmu akal murni sampai pada
kesimpulannya.
e)
al-nabawi al-qudsi yang khusus dimiliki oleh para nabi dan wali, karena
dengan jiwa seseorang dapat menyingkap hijab-hijab kegaiban dan pengetahuan
ketuhanan yang tidak dijangkau oleh jiwa-jiwa sebelumnya.
Sehingga dari
tingkatan-tingkatan jiwa itu membentuk struktur daya jiwa yang terdiri dari
lima indera internal; akal sehat, daya khayal (imajinasi), kecerdasan, daya
memori, dan intelek. Fungsi dari kelima indera internal ini dilukiskan berdasarkan bentuk dan
makna. Akal sehat adalah kemampuan untuk memahami bentuk dari sesuatu,
sedangkan daya khayal adalah kemampuan untuk memahami makna. Kedua struktur ini
akan menjadi operatif jika seseorang dapat memahami bentuk dan makna secara
bersamaan. Kecerdasan merupakan
kemampuan menyerap dan menyimpan serta melestarikan bentuk-bentuk. Sedangkan
daya memori merupakan kemampuan menyimpan dan melestarikan makna-makna. Kedua
fungsi tersebut memainkan peranan penting dalam kontemplasi. Sedangkan yang
terakhir, intelek, merupakan kemampuan intuitif, hati spiritual dalam bahasa
sufi, untuk mengatur dan mengendalikan fenomena sensibel maupun nomena
intelejibel sedemikan rupa sehingga keseimbangan antara keduanya senantiasa
terpelihara.[27]
Imajinasi yang berperan penting sebagai “jembatan” antara akal dan perasaan
pada manusia berada pada dunia imajinal berupa gerakan-gerakan fisik atau
transformasi benda-benda material. Ketika sesuatu dijelmakan, ia muncul kepada
seseorang sebagai sebuah “bayangan”. Proses penjelmaan ini disebut imajinal yang memiliki
suatu realitas tertentu. Benda-benda imajinal memiliki sifat-sifat bersisi dua,
seperti jiwa memiliki sifat-sifat ruh dan sifat-sifat tubuh.[28]
Realitas yang muncul tersebut kadang mempunyai makna dan bentuk yang saling
berlawanan. Misalnya seseorang yang bermimpi melihat sesuatu yang bersifat
korporeal, bukan sebagai sesuatu yang bersifat korporeal. Objek yang dilihatnya
memiliki bentuk korporeal sekalipun ia berada di dalam dunia imajinal. Imajinasilah
yang bertugas untuk memahami makna, yakni hakikat segala sesuatu yang tidak
memiliki bentuk luar, karena makna adalah milik dunia kecerdasan. Sementara
bentuk inderawi adalah milik dunia eksternal jasad-jasad korporeal.
Namun imajinasi memiliki kekuatan untuk memadukan makna dan bentuk-bentuk
inderawi yang saling berlawanan tersebut. Karena menurut Ibn ‘Arabi,[29] salah satu akibat dari kekuatan tersebut
karena penciptaan dunia imajinasi yang nyata di dalam seluruh pertentangannya (coincidentia
opositarum). Perasaan dan akal tidak mungkin dapat berada di dalam
pertentangan secara bersamaan, akan tetapi mungkin bagi imajinasi.
Bayangan-bayangan imajinal tersebut dapat dipahami oleh imajinasi manusia
dengan tiga cara. Pertama adalah pada tingkatan makna tunggal (mujarrad)
dari suatu substrata, yang dapat ditangkap oleh akal melalui pembuktian a
priori. Cara kedua adalah pada tingkatan karakteristik yang dapat ditangkap
oleh perasaan karena bersifat inderawi. Dan yang ketiga adalah tingkatan yang
dapat ditangkap oleh akal dan perasaan, termasuk di dalamnya hal-hal yang
bersifat imajinal.[30] “Penglihatan” akan Tuhan yang dialami
oleh para wali Tuhan seringkali melibatkan “perwujudan” (tajassud) para
malaikat, nabi, atau bahkan Tuhan, meski objek-objek “penglihatan ini
sesungguhnya tidak memiliki wujud jasadiah.
Imajinasi senantiasa menunjukkan segala sesuatu yang bertentangan secara
bersamaan, dan di dalamnya seluruh hakikat menjadi nyata sebagaimana adanya.
Kebenaran dari hal ini dapat ditangkap dari Firman Tuhan, “Engkau tidak
melempar ketika engkau melempar”.[31] Bahwa apa yang terlihat pada dunia
imajinal (mimpi) bukan kenyataan sesungguhnya.
Kehadiran imajinasi menjadi nyata saat seseorang tertidur atau absen dari
segala sesuatu yang bersifat inderawi. Dalam tidur, imajinasi mencapai
keutuhannya dan, utamanya, dalam kondisi eksistensialnya. Hal inilah yang
dialami kaum gnostik (al-ârif) pada keadaan-keadaan spiritual, seperti
ketidakhadiran (ghaibah), kesirnaan (fanâ), ketiadaan (mahw),
dan keadaan serupa lainnya.[32]
Kehadiran imajinasi menolong manusia untuk mengetahui bahwa terdapat dunia
lain yang mirip dengan dunia inderawi. Melalui percepatan transmutasi bentuk
imajinal, Dia mengundang perhatian orang-orang yang bermimpi supaya tertuju
pada kenyataan bahwa di dalam dunia inderawi terdapat eksistensi wujud yang
senantiasa mengalami transmutasi, meski hanya mampu ditangkap melalui kata-kata
dan gerakan dan tidak melalui mata dan perasaan. Kecuali, orang yang dapat
menangkap berbagai bentuk transmutasi dan perubahan dengan menggunakan
penglihatan mata hati, yakni penyingkapan melalui refleksi. [33]
Antara al-Ru’yâ
dan al-Hulm.
Kata al-ru’yâ[34] berasal dari akar kata ra’â – yarâ
- ra‘yu atau ru’yah, yang berarti melihat. Kata-kata tersebut, walaupun
berasal dari akar kata yang sama namun menghasilkan variasi-variasi retorika
dikarenakan perbedaan konteks-konteks penandaannya. Al- ru’yah dipergunakan
untuk penglihatan indrawi dalam keadaan sadar, dalam bahasa Ibn Hajar
al-´Asqalâni disebut al-khawâþthir,[35] sedangkan al-ru’yâ adalah melihat
dalam keadaan tertidur, dan al-ra’yu menunjukkan pemikiran dan
simbol-simbol.[36]
Sedangkan al-hulm berasal dari akar kata halama –
yahlumu – hulman yang berarti melihat sesuatu yang jelek di
kala tidur, yang biasa disebut bermimpi.[37] Penggunaan kata al-hulm
dalam bahasa Arab untuk menunjukkan arti kecemasan-kecemasan ilusif dan campur
aduk yang membingungkan dan membutuhkan kejelasan apa yang dilihat dan kuatnya
gambaran yang hadir.
Kata al-ru’yâ,
dalam al-qur’an, selalu dipergunakan dalam bentuk mufrad, menunjukkan pada
makna kejelasan. Sedangkan kata al-hulm, dipergunakan
dalam bentuk jamak yang disandarkan pada kata adlghâts, untuk
menunjukkan arti campur aduk.[38] Al-ru’yâ ini sering disebut dengan mimpi yang benar, dan al-hulm
adalah mimpi buruk yang dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan nightmare.
Al-Ru’yâ, mimpi yang benar, membawa pesan penting
berupa kabar baik dari Allah sehingga memotivasi seseorang untuk melakukan
perbuatan baik, atau memberinya petunjuk, atau bahkan membawa pesan yang
merupakan peringatan dari-Nya yang berkenaan dengan dosa kita sehingga kita
akan lebih berhati-hati dan berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Mimpi ini
sangat jelas dan tidak mudah kita lupakan. Al-Ghazali mengatakan bahwa orang
yang tidak mengerti dan tidak mengetahui hakekat mimpi ini, dia tidak akan tahu
hakekat-hakekat yang tersembunyi dalam mimpi tersebut, seperti hakekat bermimpi
para rasul serta hakekat bermimpi bertemu Allah.[39]
Sedangkan al-hulm
selalu dikaitkan dan disandarkan kepada syetan. Hal ini berdasarkan penjelasan
nabi dalam salah satu haditsnya.[40] Mimpi ini disebabkan oleh daya fantasi yang
dilayani oleh dua daya; daya hasrat dan daya konsepsi. Daya hasrat, yang
dilayani oleh syahwat, emosi dan daya geraknya, melayani daya fantasi dengan
memberikan keinginan untuk bergerak. Sedangkan daya konsepsi, yang dilayani
oleh indera kolektif dengan panca indera eksternalnya, bertugas menerima
penyusunan dan pemisahan sketsa-sketsa inderawi yang tersimpan di dalamnya.[41] Dan mimpi itu akan terjadi manakala kedua
daya fantasi tersebut lebih menguasai jiwa dalam arti bahwa jiwa tidak dapat
melepaskan diri dari jerat-jerat inderawi.[42]
Mimpi Menurut Sufi
Ibn ‘Arabi
menjelaskan bahwa tidur ada dua jenis. Yang pertama adalah tidur biasa di mana
seseorang dapat memenuhi hasratnya, dan untuk menghilangkan kepenatan tubuh.
Itulah tidur yang dimaksudkan di dalam firman Allah, bahwa tidur adalah untuk
mengistirahatkan setiap bagian tubuh dan menghilangkan kepenatan, dan merupakan
saudara kematian. Dan yang kedua adalah tidur transferal (intiqâl),
yaitu tidur yang biasanya terdapat mimpi-mimpi. Jiwa tertransferasikan dari
yang kasat mata menuju yang gaib, sehingga mampu melihat apa yang terdapat di
dalam perbendaharaan imajinasi (khizânat al-khayâl), di mana perasaan
mampu mengangkat objek-objek indrawi, dan yang memperoleh bentuk dari Sang
Pemberi Bentuk, sebagai bagian dari perbendaharaan.[43]
Keadaan transferal
dikarenakan makna-makna tertransferasikan dari kesatuan sebuah substrata ke
dalam suatu keadaan wujud yang terbungkus di dalam substrata, sebagaimana
pengejawantahan Yang Nyata di dalam bentuk jasad korporeal, ilmu dalam bentuk
susu, ataupun hal-hal yang serupa.
Mimpi memiliki sebuah
wadah, locus, dan suatu keadaan di dalam dunia imajinasi. Locus mimpi adalah
wilayah elemental; ia tidak memiliki locus lain. Para malaikat tidak pernah
mengalami mimpi, karena mimpi hanya milik makhluk yang mendiami wilayah
elemental. Locus mimpi adalah sebagian dari ilmu Tuhan, yakni transmutasi
melalui bentuk-bentuk penyingkapan diri. Maka, segala sesuatu yang terjadi
dalam mimpi tiada lain adalah kebenaran yang terbungkus di dalam kelelahan dan
kepenatan kita.[44]
Perwujudan mimpi
adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang
tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak tenggelam dalam tidur.[45] Bahkan dalam keadaan tidur, ketika
indera-indera dan kecakapan lainnya sedang istirahat, imajinasi terbangun
semua.[46]
Al-Farabi[47] menyatakan bahwa pada saat manusia tidur,
daya imajinasi dapat mengakses sketsa-sketsa inderawi yang disimpan.
Selanjutnya daya imajinasi menyusun dan memisahkan sketsa-sketsa tersebut dan kemudian melakukan peniruan dengan
menyusun sketsa inderawi yang tersimpan sesuai dengan pengaruh yang manusia
alami pada saat tidur. Terkadang daya imajinasi dapat menerima hal-hal yang
rasional karena menirunya dan hal-hal inderawi yang menjadi strukturnya, dan
kadang-kadang menerima hal-hal inderawi seperti yang ia khayalkan atau dengan
menirunya melalui hal-hal inderawi lainnya.
Manusia mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam kekuatan daya imajinasi dan kesiapan jiwa mereka.
Hal ini berakibat pada hubungan dengan Alam Tinggi (Akal Aktif) dan penerimaan
berbagai gambar darinya. Berakibat juga pada perbedaan mimpi seseorang.
Seseorang, ketika
jiwanya tidak disibukkan dengan pengaruh-pengaruh indera lahirah dan diperkuat
dengan keutamaan ruhaniah, maka jiwanya akan dapat berhubungan dengan induknya
yang suci dan dapat berkomunikasi dengan akal aktif. Sehingga ia dapat menerima
informasi tentang hal-hal yang gaib. Sebab jiwa merupakan alam transendental,
sehingga dapat mengenal sesuatu yang transendental pula.[48]
Ketika daya imajinasi
berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sekedar kekuatan, maka ia
mempertahankan apa yang telah diperoleh. Lebih dari itu, khayalan menetap
padanya tanpa harus dikalahkan oleh khayalan lain dan berubah menjadi sesuatu
yang lain. Ia akan menjadi mimpi yang tidak perlu ditakwilkan.[49]
Terkadang daya
imajinasi sangat kuat pada sebagian orang, sehingga masukan dari daya indera
tidak menghalanginya untuk membantu jiwa rasional dalam berhubungan dengan
prinsip-prinsip luhur yang memberinya inspirasi mengenai berbagai perkara
parsial pada saat sadar serta penerimaan gambar-gambar yang berasal darinya.
Kemudian daya imajinasi melakukan sesuatu yang sama pada saat bermimpi yang
membutuhkan takwil; dengan cara mengambil semua situasi dan menirunya serta
menguasai inderawi, sehingga mempengaruhi apa yang ia imajinasikan di dalam
daya imajinasi melalui pembentukan berbagai gambar yang diperoleh di dalam
indera kolektif.
Akibatnya ia mampu
menyaksikan gambar-gambar ilahiah yang menakjubkan dan nyata, serta kata-kata
ilahiah yang dapat didengar seperti persepsi kewahyuan. Itulah tingkat makna
yang terendah dari kenabian. Sementara itu, tingkat makna yang lebih kuat
adalah jika situasi dan gambar tetap bertahan sesuai dengan kondisinya, dengan
cara mencegah daya imajinasi untuk kembali menirunya dengan segala sesuatu yang
lain.[50]
Lebih jauh al-Kindi
menyatakan bahwa jika daya imajinasi sangat siap untuk menerima pengetahuan
yang ada di dalam jiwa, maka jiwa universal akan mengabarkan tentang segala
sesuatu yang belum terjadi. Tetapi jika daya imajinasi tidak terlalu siap maka
jiwa akan mengabarkan pengetahuannya dalam bentuk simbol. Namun jika daya
imajinasi lebih lemah untuk menerima simbol sejati, maka mimpi akan menunjukkan
sesuatu yang berlawanan dengan apa yang dilihat orang di dalam mimpi. Dan jika
daya imajinasi tidak dapat menerima pengetahuan tersebut maka mimpi akan
menjadi tidak teratur, rancu, dan tidak jelas. Mimpi inilah yang disebut adlghâts
ahlâm atau mimpi yang tidak menunjukkan apa-apa.[51]
Kadar kelebihan jiwa
dalam hal kesucian dan kejernihan menentukan kadar kebenaran mimpinya. Dari
Nabi Saw disebutkan, tidak ada yang tersisa dari kenabian kecuali berita-berita
baik, yaitu mimpi yang benar seseorang. Dan mimpi yang benar itu salah satu
bagian dari dua puluh enam bagian kenabian, atau empat puluh enam bagian dari
kenabian, hingga tujuh puluh bagian dari kenabian.[52]
Mimpi inilah yang
dikatakan Ibn ‘Arabi sebagai mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada
simbol-simbolnya. Di sini imajinasi[53] tidak campur tangan. Hati langsung
merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma’âni ghaibiyyah) sebelum
imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak
memerlukan penafsiran. Mereka adalah wahyu-wahyu Allah sendiri, dan mimpi-mimpi
itu berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian)
di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu, ilham, dan inspirasi
yang keluar langsung dari jiwa individual.[54]
Fungsi dan Substansi
Mimpi.
Fungsi Mimpi
Fungsi mimpi berbeda dalam pandangan psikologi dengan
pandangan tasawuf. Dalam pandangan psikologis mimpi berfungsi untuk menyalurkan
perasaan yang terpendam yang tidak dapat diungkapkan pada waktu sadar, dan
menyalurkan dorongan dan hasrat itu agar sesuai dengan norma-norma yang
berlaku; ataupun memberi gambaran mengenai sumber-sumber ketegangan dan
sengketa batin yang mungkin saja orang bersangkutan sendiri tidak memahaminya,[55] atau dengan kata lain mengkompensasi
ketidak-seimbangan yang terjadi dalam dialektika antara dunia internal dengan
realitas eksternal.[56] Adapun
fungsi mimpi dalam tasawuf sebagaimana yang dapat penulis simpulkan dari
berbagai literatur adalah sebagai berikut:
Pertama, Mimpi merupakan sarana penghubung untuk pewahyuan dan
sarana komunikasi Tuhan dengan orang-orang pilihan-Nya dalam bentuk ilham.[57] Wahyu ataupun ilham merupakan makna-makna
yang berada pada dunia makna. Dunia makna ini posisinya lebih tinggi dari dunia
inderawi. Makna-makna ini tidak dapat teraktualisasikan secara konkret dalam
dunia inderawi tanpa melalui perantara yang dapat memberikan bentuk terhadap
makna-makna tersebut. Perantara tersebut adalah dunia imajinasi di mana mimpi
berada. Dunia imajinasi ini memberikan tubuh jasmaniyah kepada makna-makna tersebut
dan sebaliknya menjadikan obyek-obyek inderawi itu realitas-realitas lembut (maknawi).
Disinilah, menurut Ibn ‘Arabi, mengapa awal pewahyuan diberikan dalam bentuk
mimpi.[58]
Dan Al-Ghazali menegaskan bahwa aktualisasi dari
makna-makna tersebut melalui salah satu
pintu jiwa. Karena menurutnya bahwa jiwa di mana dunia imajinasi berada
memiliki dua pintu, satu pintu eksternal ke dunia materi dan satu pintu
internal menuju ke dunia immateri yang merupakan pintu ilham dan pewahyuan.[59]
Kedua, menurut Ibn Faridl, fungsi mimpi adalah sebagai sarana
untuk menampakkan ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi dalam
jiwa. ilmu dan pengetahuan tersebut sudah ada di dalam jiwa sejak awal, dan
sangat berbeda baik dengan ilmu-ilmu aqliyah, maupun dengan ilmu-ilmu naqliyah.[60] Sebab ilmu-ilmu aqliyah dan
ilmu-ilmu naqliyah tersebut diperoleh dari luar jiwa, sementara
ilmu-ilmu yang tersembunyi itu diperoleh dan disandarkan jiwa dari substansi
jiwa itu sendiri. Ia berupa limpahan (emanasi) cahaya Ilahi ke dalam jiwa
itu dan pengajaran langsung dari Allah (ta´lîm
rabbâni) tanpa perantara dengan dibukakannya tabir hijab (kasyf).
Pada saat itu jiwa tidak lagi disibukkan oleh hal-hal yang bersifat inderawi,
alam materi, akan tetapi jiwa lebih disibukkan oleh alam ruhani dan
berkomunikasi dengan alam tersebut. Sehingga jiwa itu dapat merekam apa yang
telah terjadi dan apa yang akan terjadi nantinya.[61]
Ketiga, Mimpi berfungsi sebagai instrumen penjelajahan tahapan
spiritualitas, dan proses perjalanan serta transformasi spiritual. Hal ini
dapat dilihat dalam aliran-aliran tarekat yang ada, di mana mimpi merupakan
barometer untuk mengukur perkembangan proses perjalanan dan transformasi
spiritual seorang murid.[62] Dan bahkan dalam tarekat Halveti Jerrahi,
sebagaimana yang dilaporkan oleh Robert Frager, mimpi merupakan sarana
seseorang untuk diterima menjadi murid.[63] Sebab menurut mereka mimpi mengandung
petunjuk spiritual. Bukti yang lebih autentik tentang ini adalah autobiografi
yang ditulis oleh al-Hakim al-Tirmidzi. Autobiografi tersebut diberi judul Buduwwu
Sya’ni memuat mimpi- mimpi yang dialaminya dan mimpi-mimpi yang dialami
istrinya.[64] Catatan-catatan tentang mimpi itu
menunjukkan bukti fungsi praktis mimpi dalam proses perjalanan dan transformasi
spiritual al-Tirmidzi dan istrinya.[65]
Keempat, Sebagai media komunikasi antara sufi dengan Nabi Muhammad saw. Pertemuan itu merupakan
kenikmatan yang tiada tara dan limpahan
ilmu yang paling besar[66] serta menandakan tingkat dan kedudukan
seseorang dalam perjalanan ruhani. Mimpi adalah salah satu sarana untuk bertemu
dengannya.
Sebagai contoh adalah mimpi Ibn al-Fâridl. Dalam mimpi
itu ia, Ibn al-Fâridl, bertemu dengan nabi yang menanyakan nasabnya. Ia menjawab bahwa ia bernasab ke Bani
Sa´ad yang merupakan kabilah Halimah al-Sa´diyah yang menyusui nabi. Akan
tetapi nabi menjawab: “Tidak, engkau adalah dari keturunanku dan nasabmu sampai
ke nasabku.” Ibn al-Fâridl menjawab: “Tidak ya Rasulullah, saya telah menghafal
nasab saya ini dari bapak dan kakek saya, dan mereka mengatakan bahwa saya
berasal dari Bani Sa´ad.” Kemudian Rasulullah kembali menjawab: “Tidak, kamu
berasal dari keturunanku dan nasabmu sampai ke nasabku.” Maka Ibn al-Fâridl
mengatakan: “Engkau benar ya Rasulullah, engkau benar ya Rasulullah.”
Ibn al-Fâridh menakwilkan mimpinya ini dalam beberapa
syair qashidahnya dan mengatakan bahwa nasabnya itu bukanlah silsilah nasab
kekeluargaan, akan tetapi nasab kecintaan yang menurut para sufi lebih mulia
dan lebih tinggi dibandingkan nasab kekeluargaan.[67]
Dalam mimpi yang lain ibn al-Fâridl menceritakan bahwa
Rasulullah bertanya kepadanya tentang judul qashidah yang ditulisnya dan ia pun
menjawab bahwa ia memberinya judul dengan Lawâ’ih al-Janân wa Rawâ’ih
al-Jinân, nabi pun menjawab “Jangan diberi judul demikian, tapi beri judul Nuzhum
al-Sulûk.”[68]
Lebih dari itu untuk dapat bertemu dengan Rasulullah,
baik dalam keadaan mimpi maupun terjaga, para sufi memperbanyak mengamalkan dan
membaca shalawat yang diyakini dapat menghantarkan mereka bertemu dengan
beliau. Usaha-usaha untuk mengumpulkan shalawat tersebut telah dilakukan oleh
Yusuf ibn Isma´il al-Nabhâni dimana ia juga menerangkan faedah-faedah shalawat.[69]
Substansi Mimpi
Dunia yang kita alami ketika kita bermimpi adalah dunia
imajinasi. Ketika bermimpi, jiwa menyentuh bayangan yang bukan jiwa itu
sendiri, tetapi tidak berbeda dari jiwa. Sebuah bidang yang utuh yang merupakan
sebuah ambiguitas dan sebuah keberadaan yang aneh gaib.
Mimpi dapat menggambarkan penubuhan spiritual jika perubahan
spiritual menjadi sesuatu yang bersifat tubuh (jasmaniah). Tetapi mimpi juga
dapat berperan sebagai spiritualisasi hal-hal yang bersifat jasmaniah jika
ingatan kita mencapai bayangan dari dunia luar. Atau bisa jadi bukan keduanya,
atau bahkan merupakan keduanya, tergantung bagaimana kita memandang mereka.
Sebagian mimpi memerlukan penafsiran yang disebut dengan ta’bîr.
Kata ta’bîr berasal dari asal kata ‘a-ba-ra, yang berarti
melampaui, melintasi, mengarungi, dan melewati.[70] Atau melampaui dari yang tampak menuju
batinnya, atau melampaui dan melintasi gambaran-gambaran imajinatif menuju
makna-makna psikologis.[71] Sehingga orang yang mampu menafsirkan
mimpi adalah orang yang mampu melampaui bentuk inderawi dari (dunia) mimpi
menuju makna yang menyelubungi bentuk. Hal ini karena sang penafsir melampaui (‘ubûr)
apa yang dia nyatakan. Dengan kata lain, melalui pernyataannya, dia mampu
melintasi kehadiran dirinya sendiri dan orang yang mendengarnya. Karenanya, dia
mentransfer kata-katanya dari imajinasi ke imajinasi. Imajinasi dapat
bersesuaian atau berseberangan dengan imajinasi itu sendiri. Jika ia
bersesuaian, maka disebut pemahaman, jika dia tidak bersesuaian berarti dia
tidak dapat memahami.
Melalui ilmu tafsir mimpi, orang dapat mengetahui makna
berbagai bentuk gambaran yang tampak olehnya serta apa yang dapat membangkitkan
imajinasi yang tertidur, lemah, hampa, dan tumpul. Dan orang yang mampu
menyeberangi serta memiliki ta’bir mimpi akan melihat sesuatu yang luar biasa.
Apa yang tidak dapat dilihat oleh yang lain, akan nyata olehnya.
Prinsip yang paling penting dalam pengetahuan penafsiran
mimpi adalah prinsip kelaziman dan kesesuaian. Untuk menafsirkan mimpi secara
tepat, seseorang haruslah memahami sifat-sifat yang muncul di dalam mimpi dan
kemudian memahami bagaimanakah sifat-sifat tersebut bersesuaian dengan
sifat-sifat sesuatu yang lain yang tersembunyi dari persepsi orang yang
bermimpi. Mimpi mestilah dipahami berdasarkan beberapa kesesuaian yang lazim
antara bayangan dan makna yang terbentuk melalui bayangan tersebut.[72]
Sebagai contohnya, al-Ghazali telah mencoba menerangkan
prinsip ini melalui sebuah penafsiran Ibn Sirin tentang mimpi seseorang yang
mengatakan bahwa ia bermimpi mengunci mulut-mulut dan bagian-bagian paling
pribadi orang lain dengan cincin pengunci. Ibn Sirin mengatakan bahwa orang tersebut
mestinya adalah seorang mu’adzdzin yang memanggil orang untuk melakukan
shalat di pagi hari bulan Ramadhan.
Dari sisi
pandangan kelaziman (kewajaran), maka dengan menyampaikan panggilan adhan
tersebut berarti ia mengumumkan bahwasanya waktu puasa telah dimulai, dan
mereka tidak diperkenankan lagi makan dan minum, dan melampiaskan dorongan
seksual. Panggilan adzan itu disimbolkan oleh cincin yang secara esensial
menandakan pencegahan.[73]
Dalam pembahasan ini, substansi mimpi akan difokuskan
pada mimpi-mimpi yang dialami para sâlikîn dalam melewati
tahapan-tahapan spiritual mereka dan transformasi jiwa-jiwa mereka. Mulai dari
perjalanan jiwa ammârah menuju jiwa lawwâmah kemudian ke jiwa mulhamah
hingga sampai pada jiwa muþthma’innah, yang merupakan jiwa yang telah mencapai
tingkat perkembangan hati dan telah memperoleh kemampuan untuk mencapai
perkambangan ruh.
Jiwa-jiwa tersebut akan berevolusi dari satu jiwa ke jiwa
yang lain. Masing-masing jiwa memiliki mimpi-mimpi dengan substansinya
tersendiri. Dalam pemulaan perjalanan spiritualnya dan jiwanya mulai
dibersihkan dan dimurnikan secara jasmani maupun ruhani, seorang sâlik akan
mendapatkan dirinya dalam mimpi-mimpi. Pada tahap ini, jiwa yang kotor itu akan
menjadi jiwa ammârah jika dipenuhi oleh sifat-sifat syetan dan
dikendalikan oleh sikap yang seperti api yang mudah terbakar.
Mimpi jiwa ini melambangkan kejahatan dan menyuruh pada
kejahatan, sebagaimana sifat-sifat syetan; sesat menyesatkan. Pada fase ini
seorang sâlik akan bermimpi tentang seekor monster yang melambangkan
perangai yang salah dan lemah. Dia juga akan bermimpi tentang ular, naga,
kalajengking, lebah, dan tarantula, yang semua itu melambangkan kemunafikan,
keterikatan dengan dunia, iri hati, dan kekikiran yang berlebihan.
Di samping itu, dia juga akan bermimpi
tentang rumah yang terbakar, rumah yang gelap, rumah yang terpolusi maupun
rumah yang penuh dengan kengerian, dan juga tentang pakaian terbakar. Hal itu
melambangkan penganiayaan, keruhnya rohani akibat tidak memiliki sifat wara’,
kecintaan kepada dunia dan buruknya keyakinannya.[74]
Dalam proses peralihan dari jiwa ammârah menuju jiwa lawwâmah, jiwa ini dipenuhi
oleh sifat-sifat buas dan dikendalikan oleh sifat-sifat kehalusan seperti
udara. Perlambangan dari mimpi pada fase ini adalah kejahatan tersendiri tanpa
menjeru- muskan orang lain kepada kejahatan itu, dengan kata lain sesat akan
tetapi tidak menyesatkan. Dan mimpi yang terlihat pada tahapan ini adalah
gunung-gunung yang menjulang, dataran yang kering, dan berbagai jenis hewan
pemangsa. Sebagai contohnya adalah Jika ia bermimpi seekor macan tutul, hyena,
harimau, beruang, rubah, atau anjing, hal ini melambangkan keangkuhan,
penghianatan, keberanian dalam berbuat kejahatan dan dosa-dosa besar,
kebohongan dan hasrat birahi yang terlarang. Nurbakhsyi menyatakan bahwa
hewan-hewan predator dan serangga lain adalah bentuk-bentuk simbol dari
perangai dan sikap-sikap yang tercela. Sikap-sikap yang paling tercela
dilambangkan dengan hewan-hewan predator yang menakutkan dan serangga-serangga
yang berbisa, sedangkan sikap-sikap berlebihan disimbolkan dengan hewan-hewan
predator yang lebih lemah dan serangga-serangga yang tidak beracun.[75]
Ketika jiwa lawwâmah tersebut dalam proses
transformasi menuju jiwa mulhamah, maka ia akan dikendali oleh
sifat-sifat air dan terbebas dari perangai buas. Ia pun akan bermimpi tentang
topografis seperti bukit, lembah dengan berbagai jenis hewan pemakan rumput.
Mimpi-mimpi yang muncul pada fase ini disimbolkan, di
antaranya, oleh keledai yang melambangkan hasrat seksual, keingkaran atau
kebodohan. Atau disimbolkan oleh sapi baik yang kurus maupun yang gemuk, yang
melambangkan kemiskinan dan kerakusan. Juga akan muncul dalam bentuk kambing
dan hewan-hewan yang bertanduk, serta hewan-hewan ternak dan liar lainya, yang
kesemuanya menyimbolkan kemunafikan, kesombongan, dan ambisi.[76]
Pada proses selanjutnya, jiwa mulhamah tersebut
akan tertranformasikan menuju jiwa muthþma’innah jika ia benar-benar bersih dari
karakter-karakter yang buas. Di sini ia akan dikendalikan oleh sifat tanah yang
stabil dan dengannya ia memiliki karakter kemanusian, kemuliaan, kelembutan
serta kepatuhan. Dan ia akan melihat cahaya biru yang merupakan tanda kemurnian
jiwa dan ketentraman dalam alam mimpi.
Gambaran-gambaran yang akan terlihat dalam mimpi pada
jiwa ini adalah hewan-hewan ternak tertentu yang dekat dengan manusia dalam
aktivitasnya sehari-hari dan berbagai jenis burung-burung. Seperti kuda yang
melambangkan ibadah sehari-hari, unta yang melambangkan berserah diri (islam)
dan jika unta itu mabuk berarti cinta dan kerinduan, gajah yang melambangkan
toleransi dan kedudukan yang tinggi, ataupun biri-biri yang melambangkan
keimanan dan kepatuhan.
Pada fase ini burung-burung secara umum melambangkan
aspirasi dan himmah (keinginan yang kuat). Adapun di antara jenis burung
yang muncul dalam mimpi ini, sebagaimana yang dinyakatan oleh Nurbakhsyi,
adalah burung jalak dan kakak tua yang melambangkan tentang pengetahuan ketuhanan
dan spiritual, serta ilmu tentang tarekat serta hakikat. Burung hantu
melambangkan dzikir, tidak tidur di malam hari dan pengasingan diri. Burung
Bulbul melambangkan cinta, penglihatan, dan musik, sedangkan merpati gelang dan
merpati hutan melambangkan keikhlasan (qana’at)
dan kebiasaan serta ketekunan dalam melakukan dzikir dan ibadah. Burung tekukur
melambangkan kegiatan dzikir pada tingkat spiritual hati dan pemurnian
kesadaran yang berbeda-beda. Burung rajawali melambangkan hal-hal spiritual yang
lebih tinggi dan orang-orang yang ingin dekat dengan Allah. Burung huma
melambangkan disiplin pertapaan, tingkat kesadaran hati yang tersembunyi, atau
kesadaran yang paling dalam (khafi), atau hal-hal yang berhubungan
dengan alam kekuasaan (jabarut). Burung simurg melambangkan
perwujudan esensi ketuhanan, peleburan (fana) dengan Allah dan
pencapaian alam Ketuhanan (lahut) dan tahap perkembangan kedekatan
dengan Allah.[77]
Dalam proses transformasi jiwa sang sâlik,
manakala karakter syetan, karakter hewan yang buas dan kejam berubah menjadi
karakter yang manusiawi, maka ia akan sering bermimpi tentang manusia yang
memiliki jiwa-jiwa muthþma’innah.
Lain halnya dengan Abd al-Qâdir al-Jailâni yang
berpendapat bahwa mimpi-mimpi yang dialami oleh seorang sâlik, ketika
dalam proses perjalanan ruhaninya, baik pada tahapan jiwa ammârah, lawwâmah,
dan mulhamah, banyak muncul dari akhlak tercela. Semua ini akan terlihat
dalam mimpi berbentuk binatang buas, seperti macan (harimau), singa, serigala,
beruang, anjing, babi, dan sebagainya. Sifat-sifat tercela ini merupakan
sifat-sifat yang dijaga dan dijauhkan dari perjalanan ruh.[78] Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa
harimau, beruang, serigala dan anjing, serta babi merupakan perlambangan dari
sifat ujub, pemarah, suka memakan barang syubhat, dan cinta dunia serta
selalu mengikuti keinginan syahwat. Adapun kelinci, musang, alap-alap, kucing,
ular, kalajengking, dan tawon menyimbolkan tipu daya, kecintaan atas kedudukan,
sifat kikir dan munafik, sifat suka memfitnah, dan menyakiti orang dengan
lisan, serta mengadu domba.[79]
Sedangkan mimpi-mimpi yang berkait dengan jiwa muthma’innah
banyak muncul dari akhlak mulia, seperti bermimpi melihat hewan yang halal
dagingnya, atau burung- burung; karena kehidupan jiwa ini di surga bersumber
dari jenis-jenis binatang tersebut.[80]
Keberhasilan seorang sâlik dalam pencapaiannya
menuju jiwa muþthma’innah ditandai dengan keberhasilannya
mengalahkan binatang-binatang yang ia perangi dalam mimpinya. Dan jika ia
gagal tidak mampu mengalahkannya, berarti ia harus meningkatkan perjuangannya
dengan ibadah dan dzikir, sehingga sifat-sifat kebinatangan tadi dikalahkan dan
dilumpuhkan, bahkan dihancurkan, serta digantikan dengan sifat-sifat manusia.
Jika ia mampu menghancurkannya secara total, berarti ia sudah meninggalkan keburukan-keburukan
secara total.
Dan apabila ia bermimpi melihat binatang-binatang tadi
berubah wujud menjadi manusia, ini menunjukkan bahwa keburukannya telah diganti
dengan kebaikan dan telah terlepas dari sifat-sifat menyakitkan. Dan bila
seseorang sudah mencapai maqam ini, ia tidak boleh lengah karena nafsu akan
muncul kembali, dan dapat menghancurkan jiwa muthma’innah itu.[81]
PENUTUP
Dalam perspektif tasawuf, mimpi adalah representasi simbolis dari
realitas-realitas transendental spiritual. Ia juga merupakan pesan-pesan yang
datang dari pengetahuan tersembunyi dan tak dapat dijangkau oleh persepsi
inderawi, serta datang dari kehadiran Ilahi dalam jiwa sang sufi. Mimpi
memberikan tanggapan langsung dan informasi terhadap kebutuhan sejati jiwa sang
sufi. Mimpi ini tidak hanya berasal dari dimensi bawah sadar, namun juga
bersumber dari dimensi yang lebih jauh dan bersifat transendental, alam
malakût. Dengan demikian ia tidak mungkin dapat direduksi sebagai ungkapan
dorongan-dorongan keinginan yang tidak terpenuhi dari pengalaman eksistensial.
Pemahaman terhadap hakikat mimpi tersebut berimplikasi kepada pemahaman
terhadap fungsi dan substansi mimpi. Fungsi mimpi menurut kaum sufi mempunyai
makna yang lebih mulia dari hanya sebagai bunga tidur. Mimpi dapat berfungsi
sebagai sarana pewahyuan dan komunikasi Tuhan dengan orang-orang pilihan-Nya
dalam bentuk ilham. Melalui mimpi kaum sufi dapat berkomunikasi dengan Nabi,
dan seseorang dapat mengukur dan mengetahui sampai di mana perkembangan
spiritualnya di dalam proses perjalanan dan transformasi spiritual. Barometer
pengukuran dilakukan dengan menyingkap makna dari substansi mimpi seseorang
yang sangat beragam sesuai dengan tingkatan-tingkatan spiritual. Saat jiwanya
berada pada tahapan jiwa ammârah, substansi yang muncul adalah
mimpi-mimpi yang melambangkan kecenderungan pada kejahatan. Pada saat jiwa
berada pada tahapan jiwa lawwâmah, maka substansi yang muncul adalah
perlambangan dari kejahatan tersendiri tanpa menjerumuskan orang lain. Namun
saat jiwa berada pada tahapan mulhamah, maka mimpi-mimpi yang muncul
dapat berupa topografis alam dan tumbuhan-tumbuhan. Dan pada saat jiwa telah
mencapai tahapan muthma’innah maka jiwa akan didominasi oleh sifat
kestabilan tanah yang memiliki karakter kemanusiaan, kemuliaan, kelembutan,
serta kepatuhan, dan mimpi-mimpi yang muncul dapat berupa hewan-hewan yang
dekat dengan manusia dalam aktivitasnya dan berbagai jenis burung.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Aisyah, Manusia, Sensitifitas
Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997),
cet. I.
Abu Daud, Sunan Abu Daud, jilid III (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1996).
Afifi, Abu al-´Elâ, The Mystical Philosophy
of Muhyiddin Ibn ‘Arabi, (Cambrigde: University Press, 1939).
Al-´Asqalâni,
al-Hâfizh Ibn Hajar, al-Ru’â wa al-Ahlâm fi Dhau’i al-Kitâb wa
al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Turats
al-Islâmi, 1977).
Al-Farabi, Abu Nash, Arâ’Ahl al-Madînah
al-Fâdlilah (Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shubaih, t.th.).
Al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad, Majmû´ah Rasâil al-Ghazali
(Kairo: Dar al-Fikr, 1991).
---------,
Ihya’ Ulûm al-Dîn, jilid III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989).
---------,
Ma´ârij al-Quds fi Ma´rifati Madârij al-Nafs, diedit oleh
Muhammad Musthþafa Abu al-Ela (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968).
---------,
Maqâsid al-Falâsifah, diedit oleh Sulaiman Dunia (Kairo: Dâr al-Ma´arif,
t.th.), Cet. II.
---------,
Misykât al-Anwâr wa Mishfât al-Asrâr (Beirut: Alam al-Kutub, 1987).
Al-Jailani,
As-Syeikh Abdul Qadir, Sirrul Asrar,
terj. K.H. Zezen Zaenal Abidin Zayadi Bazul Asyhab (tt.; ttp., tth.).
Al-Mashri,
Ibn Manzhur al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, 1990), Cet.
I.
Al-Nabhani,
Yusuf ibn Isma´il, Sa´âdah al-Dârain fi al-Shalâh alâ Sayyid
al-Kaunain (Beirut: Mathþba´ah Beirut, 1316 H).
Al-Qurthþubi,
Abi al- Abbas Ahmad Ibn Umar, Talkhish Shahih al-Imâm Muslim, ditahqiq
oleh Ra’fat Fauzi Abd. Al-Ghoni, Jilid II, (Kairo; Dar as-Salam, 1993), Cet II.
Al-Qusyairi, Abu al-Qâsim Abd. al-Kârim, al-Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawuf (Beirut: Dar al-Khair, t.th.).
Al-Suhrawardi, Hayâkil
al-Nûr, diedit oleh Muhammad Ali Abu Rayyan (Kairo: al-Maktabah
al-Tijâriyah al-Kubra, 1957).
--------, Hikmah
al-Isyrâq, diedit oleh H. Corbin (Teheran: Academie Imperiale Iranienne De
Philosophie, t.th.).
Al-Tirmidzi, Abu Abdillah al-Hakim, Kitâb Khatm
al-‘Auliyâ’, ditahqiq oleh ´Utsman Isma´il Yahya (Beirut: al-Mathþba´ah al-Kâtsûlikiyah, 1965).
Anwar, Cecep Ramli Bihar, (ed.), Menyinari
Relung-relung Ruhani ; Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (Jakarta: IIMAN,
2002).
Arif, Iman Setiadi, Dinamika Kepribadian: Gangguan dan
Terapinya, (Bandung: Refika Aditama, 2006).
Azam, Ikram, “Islamic Meditation; Visionary Human Holism”
dalam jurnal The Sufi Path, 3rd print (Kuala Lumpur: A. S.
Noordeen, 1991).
Bakhtiar, Laleh, Perjalanan Menuju Tuhan; dari
Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, terj. Purwanto (Bandung: Nuansa, 2001).
Berstein,
Douglas A., Essential of Psychology (Boston: Houghton Mifflin Company,
1999), 127.
Burhani,
Ahmad Najib, Sufisme Kota; Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Chittick,
William C., Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan
Diversitas Agama, Terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001).
----------,
Sufi Path of Knowledge (New York: State University of New York, 1989).
Frager,
Robert, Psikologi Sufi untuk Transformasi; Hati, Diri, dan Jiwa, terj.
Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002).
Haeri,
Syeikh Fadhlullah, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muhammad Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera,
1999).
Hilmi, Muhammad Mushthþafa, Ibn al-Fâridl; Sulþân al-´Asyiqîn (Cairo: al-Mu’assasah al-Mishriyah al-´Amah,
t.t.).
Ibn ‘Arabi, Muhyiddin,
Al-Futûhât al-Makiyyah (Beirut: Dar Shâdir, 1972).
---------, Fushûsh al-Hikam, dikomentari
oleh Abu al-Elâ Afifi (Beirut: Dâr al-Kitab al-´Arabi, 1980).
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-´Alâm
(Beirut: Dar al-Masyriq, 1987), cet. 28.
Mahmud, Abd al-Halim, Qadliyah
al-Tasawuf: al-Madrasah al-Syadziliyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1988).
Mahmud, Abd. Al-Qadir, al-Falsafah al-Shûfiyah
fi al-Islâm; Mashâdiruhâ wa Nazhariyâtuhâ min al-Dîn wa al-Falsafah (Kairo:
Dar al-Fikr al-´Arabi, t.th.).
Murata,
Sochiko & William C. Chittick, The Vision of Islam, (Minnesota:
Paragon House, 1994).
Najati,
Muhammad Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi
Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Neufeldt,
Victoria, Webster’s New World College Dictionary, 3rd ed.,
(New York: MacMillan, 1988).
Nicholson,
Reynold A., The Mystics in Islam (New York: Schocken Books, 1975).
Nurbakhsy,
Javad, Psikologi Sufi, terj. Arif Rakhmat (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 1998).
Pranawati,
Fransiska, Menyingkap Rahasia Tidur (Bandung: Pionir Jaya, 2002).
Sirin,
Muhammad Ibn, Tafsir al-Ahlâm al-Kabîr (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1991).
Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara,
terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002).
Taylor, Ann, Introducing Psychology, 2nd
ed. (Harmondsworth: Pinguin Book, 1982).
Trimingham,
J. Spencer, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press,
1973).
Uwaidlah,
Kamil Muhammad, al-Tahlîl al-Nafsi (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
1996).
Xavier,
Marlon, “Dream Interpretation in Jung’s Theory ; A Comparative Analysis” dalam
Carl A. Meier, Ancient Incubation (Bollingen, Zürich, 1981), di
www:yahoo. com/Psychology/Donald Williams 1995-1999. Last updated 20 September
1999.
[1]Suatu ganguan mental yang dicirikan dengan rasa curiga yang
mendalam, khayalan akan penyiksaan dan bahwa seseorang akan berbuat sesuatu
terhadap dirinya. Lihat Victoria Neufeldt, Webster’s New World College
Dictionary, 3rd ed. (New York: MacMillan, 1988), 980.
[2]Pengukuran gelombang aktifitas otak ini dilakukan dengan
mempergunakan suatu alat yng dinamakan EEG (Electroencephalograph) di
mana elektroda-elektrodanya dipasang pada kepala dan wajah orang yang tidur.
[3]Douglas A. Berstein, Essential of Psychology (Boston:
Houghton Mifflin Company, 1999), 127.
[4]Lihat Ann Taylor, Introducing Psychology, 2nd
ed. (Harmondsworth: Pinguin Book, 1982), 131-134.
[6]Marlon Xavier “Dream Interpretation in Jung’s Theory; A
Comparative Analysis” dalam Carl A. Meier, Ancient Incubation (Bollingen,
Zürich, 1981) di www.yahoo.com/Psychology/Donald Williams 1995-1999. Last
updated 20 September 1999.
[7]Kâmil Muhammad ´Uwaidlah, al-Tahlîl al-Nafsi (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 109.
[8]Ikram Azam, “Islamic Meditation; Visionary Human Holism” dalam
jurnal The Sufi Path, 3rd print (Kuala Lumpur: A. S.
Noordeen, 1991), 29.
[9]HR. Abu Daud dari Abu Hurairah dalam kitab al-adab bab ma jâ’a
fi al-ru’yâ, hadits nomor 5017. Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, jilid
III (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 309.
[10]Laleh Bakhtiar, Perjalanan Menuju Tuhan; dari Maqam-Maqam
hingga Karya Besar Dunia Sufi, terj. Purwanto (Bandung: Nuansa, 2001), 144.
[11]Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam,
dikomentari oleh Abu al-Elâ Afifi (Beirut: Dâr al-Kitab al-´Arabi, 1980), 47.
[12]J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London:
Oxford University Press, 1973), 190.
[14]Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota; Berpikir Jernih Menemukan
Spiritualitas Positif (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2001), 139.
[15]Trimingham, The Sufi Order …, 225.
[17]Syeikh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muhammad Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera,
1999), 98.
[18]Abd al-Halim Mahmud, Qadliyah
al-Tasawuf: al-Madrasah al-Syadziliyah (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1988), 181.
[19]Al-Ghazali, “Al-Risalah al-Ladunniyah”
(selanjutnya disebut al-Risâlah) dalam Majmû- ´ah Rasâil al-Ghazali,
(Kairo: Dar al-Fikr, 1991), 223.
[20]Qs. Al-Nur (24): 24 dan Qs. Yasin (36): 65
[26]Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr wa Mishfât al-Asrâr,
(Beirut: Alam al-Kutub, 1987), 218. Lihat juga Abd. Al-Qadir Mahmud, al-Falsafah
al-Shûfiyah fi al-Islâm; Mashâdiruhâ wa Nazhariyâtuhâ min al-Dîn wa al-Falsafah
(Kairo: Dar al-Fikr al-´Arabi, t.th.), 165-166.
[31]Qs. Al-Anfal (8): 17.
36Al-Hâfizh Ibn Hajar
al-´Asqalâni, al-Ru’â wa al-Ahlâm fi Dhau’i al-Kitâb wa al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Turats al-Islâmi, 1977),
5. Dalam terminologi tasawuf al-khawâthþir adalah
bisikan-bisikan jiwa yang terhujam dalam hati kecil (dlamîr); terkadang
muncul dari malaikat maka disebut ilham; terkadang dari syetan yang
disebut dengan was was; dan dari hawa nafsu yang disebut hawâjis
bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt yang disebut khâthir al-Haq. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah
…, 83-84.
37Lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia,
Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta:
LKPSM, 1997), cet. I, 190. Lihat juga, Muhammad Abd. Al-Aziz al-Khalidi (ed.), Syarh
al-´Allâmah al-Zarqâni ´ala al-Mawâhib al-Laduniyah bi al-Minah
al-Mu hammadiyah li al-´Allâmah al-Qasþthalâni, jilid X (Beirut: Dar
al-Kutub al-´Ilmiyah, 1996), Cet. I, 29.
[43]Ibn ‘Arabi, al-Futûhât …,
Jilid II, 378. Bandingkan dengan Ahmad
al-Kamsyahanawi al-Khalidi, Jâmi’ al-Uþshûl fi al-Auliyâ’ (t.tp.: t.p., t.th.), 209-210; bandingkan
juga dengan Al-Qusyairi, al-Risalah …, 366.
[45] Al-Qusyairi, al-Risalah …, 359.
[47]Abu Nash Al-Farabi, Arâ’Ahl al-Madînah
al-Fâdlilah (Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shubaih, t.th.), 72.
[48]Al-Suhrawardi, Hikmah al-Isyrâq,
diedit oleh H. Corbin (Teheran: Academie Imperiale Iranienne De Philosophie,
t.th.), 236. Lihat juga al-Suhrawardi, Hayâkil al-Nûr, diedit oleh
Muhammad Ali Abu Rayyan (Kairo: al-Maktabah al-Tijâriyah al-Kubra, 1957), cet.
I, 85.
[49]al-Ghazali, Ma´ârij al-Quds …,
138.
[50]Najati, Jiwa dalam …, 233.
[52]Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
mimpi dikatakan sebagai bagian kenabian dengan mengaitkannya dengan masa
turunnya wahyu. Wahyu dalam bentuk mimpi turun selama 6 bulan. Jika hal ini
dikaitkan dengan masa keseluruhan turunnya wahyu selama 23 tahun atau 276
bulan, maka masa 6 bulan tersebut sama dengan satu per enam dari 276 bulan
tersebut. Lihat Ibn ‘Arabi, al-Futûhât
…, jilid II, 58. Lihat juga al-Asqalâni, al-Ru’a …,10.
[53]Lihat Ibn ‘Arabi, Fushûsh …, jilid
I, 88-89.
[54]Abu al-´Elâ Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn
‘Arabi, (Cambrigde: University Press, 1939), 132.
[55]Cecep Ramli Bihar Anwar (ed.), Menyinari Relung-relung
Ruhani; Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (Jakarta: IIMAN, 2002), 98-99.
[56]Iman Setiadi Arif, Dinamika Kepribadian: Gangguan dan
Terapinya, (Bandung: Refika Aditama, 2006), 16.
62Al-Ghazali, al-Risalah…, 231.
Suhrawardi menyatakan bahwa pengetahuan jiwa inilah yang esensial, karena
jiwalah yang sadar akan esensinya melalui esensi itu sendiri sehingga kesadaran
itu merupakan dasar-dasar pengetahuan. Hal ini ia perjelas dengan mengemukakan pertemuannya
dengan Aristoteles dalam mimpi yang dialaminya. Dalam mimpi itu ia bertanya
tentang apa pengetahuan itu, bagaimana ia diperoleh, apa yang dikandungnya, dan
bagaimana ia dinilai? Aristoteles menjawab :”kembalilah kepada jiwamu”. Lihat,
Hossein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi; Pencerahan Ilmu
Pengetahuan, terj. Afif Muhammad dan Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia,
1998), cet. I, 137.