Rabu, 20 November 2019

MIMPI SUFISTIK


MIMPI SUFISTIK

(Telaah atas Fungsi dan Substansi Mimpi Menurut Tasawuf)

Lalu Agus Satriawan


Abstrak: Keberadaan mimpi dan arti pentingnya tidak dapat dipungkiri oleh setiap tradisi  keagamaan dan kemanusian. Setiap zaman, orang cenderung untuk membicarakan dan mempertanyakan arti sebuah mimpi. Mimpi bukan sekedar bunga tidur, yang datang dari nafsu rendah seseorang, dan juga  tidak berupa dorongan-dorongan terpendam yang tidak dapat dimunculkan dalam dunia nyata, dikarenakan oleh satu atau berbagai hal. Ia bahkan berasal dari dunia yang lebih tinggi, alam malakût, dimensi spiritual manusia. Melalui tinjauan fungsional-substantif penelitian ini, diketahui bahwa mimpi dapat berfungsi sebagai sarana untuk menguak tabir-tabir misteri kegaiban dan kemenduaan alam ini. Ia juga merupakan sarana untuk menunjukkan kadar kualitas spiritual seseorang serta proses perjalanannya menuju Allah. Dengan demikian substansi mimpi yang dialaminya akan berbeda sesuai dengan tingkatan jiwanya, walaupun simbol-simbol yang ditampakkan akan sama. Substansi mimpi jiwa ammârah berbeda dengan substansi mimpi jiwa lawwâmah. Sebagaimana substansi itu juga berbeda pada tahap jiwa mulhamah dan jiwa muthmainnah. Substansi jiwa ammârah lebih banyak dikendalikan oleh sifat api yang merupakan simbolisasi dari syetan. Sedangkan jiwa lawwâmah dikendalikan oleh sifat udara, jiwa mulhamah oleh sifat air dan jiwa muthmainnah oleh sifat tanah.

Kata Kunci: mimpi, tasawuf, jiwa ammârah, jiwa lawwâmah,
                      jiwa mulhamah, jiwa muthmainnah

 PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup, khususnya manusia, mutlak memerlukan tidur untuk meringankan dan merelaksasikan – untuk tidak mengatakan mengistirahatkan – proses kerja seluruh anggota badannya. Tidur diperlukan tidak hanya untuk meringankan beban fisik dan relaksasi otot-otot saja setelah seharian bekerja secara konstan, akan tetapi juga untuk istirahat secara psikologis. Sebab kurang tidur dapat juga mengakibatkan gangguan psikis, seperti paranoid.[1]
Selama tidur normal pada malam hari, gelombang otak[2] kita menunjukkan perubahan yang jelas dan sistematis dalam frekuensi dan amplitudonya.[3] Ketika kita beranjak tidur dan mulai merebahkan badan lalu menutup mata dan rileks, gelombang otak ini menunjukkan pola teratur. Dalam tahap ini denyut-denyut jantung menurun, elahan nafas lebih teratur dan perlahan, serta dibarengi dengan gerakan tubuh yang berganti-ganti posisi.
Setelah melewati beberapa stadium tidur (stadium 1-4), di mana penurunan frekuensi dan amplitudo dari gelombang otak ini sangat tajam dan lebih lambat, gelombang otak ini akan aktif kembali dan bahkan lebih aktif dibandingkan pada saat terjaga. Peningkatan aktifitas gelombang otak ini terjadi pada tahap tidur REM (Rapid Eye Movement). Hal ini disebabkan oleh adanya aliran darah yang sangat banyak ke otak.
Tidur pada tahap ini ditandai dengan adanya gerakan mata yang sangat cepat (REM), meningkatnya kecepatan denyut jantung dan metabolisme otak. Namun walaupun otak sedang aktif fungsi tubuh pada saat ini nyaris lumpuh.[4] Pada tahap inilah mimpi diindikasikan sering terjadi, sebagian besar orang  yang dibangunkan ketika dalam periode ini akan melaporkan dan mengingat mimpinya.[5]
Dalam tradisi kemanusiaan dan keagamaan mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur yang tidak mempunyai makna. Keadaan mimpi telah diakui sebagai suatu dimensi penting dari pengalaman hidup. Mimpi tidak hanya diakui dalam dunia Islam saja, akan tetapi juga diakui oleh dunia Kristen, Yahudi dan Yunani Kuno. Dalam Bibel misalnya, mimpi dianggap sebagai petunjuk. Terhindarnya bangsa Mesir dari bahaya kelaparan karena petunjuk Tuhan melalui mimpi Fir’aun yang diinterpretasikan oleh Yusuf. Demikian juga halnya dengan penyelamatan Kristus ke Mesir, menurut Perjanjian Baru, adalah sebagai konsekuensi dari mimpi Yusuf. Dalam kebudayaan Yunani Kuno, mimpi dianggap sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi bukan sekedar pengalaman imajinatif. Dan sebagai konsekuensi dari anggapan itu mereka berusaha untuk menciptakan keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya mimpi tersebut.[6] Begitupun dengan bangsa Romawi, Alexander The Great misalnya, ketika hendak melakukan infansi militer selalu membawa seorang ahli penakwil mimpi. Menurut suatu cerita bahwa ketika Alexander hendak menaklukkan kota Tyre, pada malam harinya ia bermimpi seseorang sedang menarikan tarian kemenangan. Ketika mimpi itu ia ceritakan kepada ahli penakwil mimpinya, ia dianjurkan untuk meneruskan rencananya sebab mimpi itu bermakna kemenangan baginya.[7]
Dalam dunia Islam, kita mengenal dengan apa yang dinamakan shalat istikharah. Melalui shalat ini kita meminta petunjuk dan penerangan Ilahi dalam menentukan suatu pilihan yang benar. Petunjuk dan penerangan tersebut dapat diperoleh melalui intuisi bawah sadar dalam mimpi.[8] Dan suatu hal yang sering dilakukan oleh Nabi setiap paginya menanyakan para sahabatnya dengan suatu pertanyaan “apakah ada di antara kalian yang bermimpi semalam?”[9]
Sedangkan dalam tasawuf, pentingnya mimpi hampir tidak dapat diragukan lagi, ia merupakan etos spiritual yang ditemukan di dalam tradisi profetik Islam. Mimpi-mimpi itu menjadi spirit dan bimbingan bagi langkah-langkah mereka dalam meniti kehidupan,[10] terlebih lagi jika mimpi itu adalah mimpi bertemu Rasulullah Saw. Ibn ‘Arabi misalnya mengatakan bahwa di antara sebab ia menulis buku karyanya Fushûsh al-Hikam  adalah atas perintah Rasulullah yang ia terima melalui mimpi.[11] Demikian juga halnya dengan magnum opus-nya bersumber dari visi-visi dan mimpi-mimpinya yang dibukakan dan ditampakkan untuknya.[12] Al-Junaid juga mau melaksanakan permintaan Sari al-Saqati untuk memberi pelajaran secara umum setelah ia bermimpi bertemu Rasulullah yang menyuruhnya melaksanakan perintah tersebut.[13] Mimpi Abu Sa´id al-Kharraz tentang pertemuannya dengan Rasulullah memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang posisi Muhammad dalam cinta kepada Tuhan. Dalam mimpinya, al-Kharraz mendengar Rasulullah berkata “Barang siapa yang mencintai Tuhan, harus pula mencintaiku.”[14] Lebih dari pada itu bahwa salah satu di antara kriteria-kriteria seseorang dikatakan sebagai wali adalah bahwa ia mendapat bimbingan ruhani dari Rasulullah melalui perjumpaan dengannya dalam mimpi.[15]
Dalam dunia tarekat, mimpi merupakan unsur penting dan alat untuk mengukur perkembangan dan kemajuan tahapan-tahapan spiritual seorang murîd. Sang murîd harus melaporkan mimpi-mimpi yang dialaminya selama melakukan latihan-latihan dzikir sewaktu dalam khalwat untuk kemudian diinterpretasikan oleh sang mursyid.[16] Mimpi merupakan refleksi dari tingkat material dan mental seorang murîd, yang juga merefleksikan makna yang lebih tinggi dan lebih halus. Semakin beradab seseorang secara spiritual, maka akan semakin halus alam dan arti mimpinya. Semakin terangkat seseorang secara spiritual, makin besar kemungkinannya menerima mimpi yang benar.[17]Abu al-´Abbas al-Mursi mengetahui dirinya akan menggantikan Abu al-Hasan al-Syadzili sebagai pemimpin tarekat al-Syadziliyah melalui mimpi.[18]
Berangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah perspektif tasawuf tentang mimpi? Untuk lebih memfokuskan dan mengarahkan tulisan ini, maka makalah ini menitik-beratkan pada fungsi dan substansi mimpi menurut tasawuf.

PEMBAHASAN
Dunia mimpi adalah milik manusia. Mimpi bukan dunia milik para malaikat ataupun binatang. Manusia dengan potensi dan kualitasnya sangat berbeda dengan makhluk lainnya. Hewan tidak akan pernah dapat bermimpi karena secara potensial mereka tidak memiliki daya imajinasi dan akal yang mampu menggambarkan makna-makna simbolis. Demikian juga malaikat hanya mampu memberikan makna tanpa dapat memberikan bentuk konkrit dari makna tersebut.
Ketika seseorang bermimpi banyak faktor-faktor dan stimulus-stimulus yang mempengaruhi mimpinya.  Jikalau ia tertidur dan keadaan kondisi fisik yang lebih mendominasi, mimpinya dipastikan lebih berorientasikan fisikal. Sebagai contohnya ketika kakinya basah terkena air, maka mimpinya bisa jadi seakan-akan ia sedang berjalan di atas air. Atau ketika organ pendengaran (telinga) mendengar alunan musik, maka ia akan bermimpi sedang bernyanyi.
Jika kondisi psikologis kita yang mendominasi tidur kita, maka kebanyakan gambaran yang muncul dalam mimpi kita akan berupa gambaran psikologis. Contohnya, seorang anak yang pada siang harinya bertengkar dengan orang tuanya, dia akan bermimpi disiksa oleh ibu dan bapaknya.
Namun tidak selamanya mimpi itu akan berorientasikan fisikis maupun psikologis. Adakalanya berorientasikan spiritual, jika kondisi tidur lebih didominasi oleh kondisi spiritual. Sehingga mimpi yang alami merupakan percikan-percikan ilmu Tuhan yang disampaikan-Nya.
Untuk dapat lebih memahami hakekat-hakekat dari mimpi tersebut di atas, maka adalah suatu keniscayaan untuk mengetahui hubungan pola kerja antar fisik, psikologi dan spiritual kita.

Hubungan antara Jasad, Jiwa, dan Ruh.
Esensi manusia adalah kesatuan antara alam syahâdah yang disimbolkan oleh jasad dengan alam malakût yang disimbolkan oleh ruh.[19] Atau dengan kata lain, manusia diciptakan dari perpaduan unsur materi dan unsur non-materi, antara unsur kebutuhan dengan motif fisiologis dan unsur kebutuhan psikologis, antara unsur kebinatangan dengan unsur kemalaikatan. Kedua unsur tersebut walaupun saling berlawanan dan bertentangan, tetapi saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak teraktualisasikan.
Fungsi dasar ruh adalah untuk mengarahkan dan mengendalikan tubuh. Benda-benda tubuh terbuat dari tanah liat yang mudah retak dan tidak memiliki kesatuan inheren. Walaupun dibakar, tanah liat bisa jadi tampak keras, tetapi ia dapat dipatahkan. Sebaliknya ruh yang terbuat dari cahaya merupakan sebuah realitas tunggal, berupa getaran dari Allah. Cahaya adalah satu dan kegelapan adalah keanekaragaman. Sesuatu yang beragam tidak dapat menggalang kebersamaan karena mereka tidak konsisten terhadap sebuah realitas yang menyatu.
Ruh manusia berasal dari hembusan “nafas” Tuhan ke dalam tubuh manusia. Ruh tersebut memberikan keutuhan dan integritas bagi sekumpulan sel, organ, dan bagian-bagian tubuh lainnya. Tetapi masing-masing bagian tubuh tersebut memiliki kemandirian tertentu yang dijaga oleh ruh-ruh dari organ-organ individual.[20]
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, ruh yang bersifat immateri tidak dapat mengimplementasikan peranannya tanpa perantara tubuh. Jiwa merupakan manifestasi yang menjadi mediator antar ruh dan jasad. Jiwa berada di tengah-tengah dua alam yang fundamental tersebut, dan memiliki atribut keduanya.[21]Jiwa mencerminkan pertemuan antara ruh dan tubuh, antara cahaya dan kegelapan, antara kehidupan dan kematian, antara kesadaran dan ketidaksadaran. Apapun yang tampak pada manusia merupakan campuran antara pengetahuan dan ketidaktahuan, antara daya dan ketidakberdayaan, antara kehendak dan tidak berkehendak. Jiwa adalah tempat pertemuan keinginan ruh dan kemampuan tubuh untuk melakukan sesuatu. Keinginan ruh hanya dapat terartikulasikan jika dilakukan oleh bahasa tubuh. Gerakan kesadaran yang belum terartikulasikan menjadi sebuah perbuatan dapat terjadi melalui peranan jiwa.
Jiwa berasal dari alam spiritual yang membawa entitas-entitas spiritual ke dalam hubungan entitas  badaniyah dengan memberikan realitas psikis dengan atribut-atribut yang bersifat fisikal.[22] Sehingga jika dikaitkan dengan ruh, jiwa bersifat badaniah, sebab jika dibandingkan dengan ruh, ia memiliki sifat-sifat tubuh seperti kegelapan, mati, bodoh, lemah, dan sebagainya.[23]Tetapi jika dikaitkan dengan jasad, jiwa bersifat spiritual karena memiliki seluruh sifat ruh seperti cahaya, hidup, mengetahui, berkuasa, dan sebagainya. Jiwa adalah “imajinasi”. Ia adalah bayangan sebuah tubuh dan bayangan sebuah ruh. Tetapi ia bukanlah ruh sejati dan bukanlah tubuh sejati.
Perkembangan jiwa manusia berlangsung di dalam sebuah dunia bayangan. Jiwa yang berasal dari alam non-fisik, mula-mula, harus menjadi “kurang halus” dan menjadi lebih konkrit. Dalam proses ini, ia menjadi jiwa nabati (nafs nabâtiyyah), yang memungkinkan bentuk di dalam rahim mempunyai fungsi makan, minum, dan tumbuh, seperti tumbuhan; kemampuan mentransformasikan substansi luar ke dalam bentuk sendiri.
Ketika bentuk manusia tumbuh di dalam rahim, ia mengembangkan jiwa hewani (nafs hayawâniyyah), di mana ia mendapatkan kemampuan untuk bergerak. Pada saat kelahiran, jiwa hewani disempurnakan, karena bentuk manusia memperlihatkan berbagai hasrat. Pada awal perkembangan manusia inilah, sifat-sifat tanzîh sangat mendominasi, karena sifat-sifat ketuhanan dari ruh hampir tidak dapat dilihat pada diri seorang bayi.
Namun baru menjelang dewasalah, jiwa tumbuh dari kesadaran potensialnya ke kesadaran aktualnya yang ditandai dengan tumbuhnya jiwa rasional (nafs nâthiqah)[24] dengan mengikuti petunjuk-petunjuk kenabian. Dengan begitu  sifat-sifat ketuhanan akan semakin tampak. Cahaya yang suram bersinar pada masa awal perkembangan menjadi semakin terang dan jelas seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran manusia. Pada saat inilah pencarian jiwa baru dapat dimulai. Kemampuan untuk mentransformasikan diri menjadi ada.[25] Hal ini berimplikasikan pada adanya tingkatan-tingkatan jiwa manusia yang menurut al-Ghazali dibagi menjadi lima tingkatan,[26] yaitu:
a)      al-hiss memiliki kesadaran yang bersifat alami dan kualitasnya rendah.
b)      al-khayâli yang berfungsi sebagai penyimpan kesan-kesan yang diperoleh melalui panca indera, dan menyampaikannya ke jiwa yang berikutnya.
c)      al-´aqli yang merupakan penemu makna-makna yang terkandung di balik fenomena-fenomena, di luar kedua jiwa sebelumnya.
d)      al-fikri yang mengambil ilmu-ilmu akal murni sampai pada kesimpulannya.
e)      al-nabawi al-qudsi yang khusus dimiliki oleh para nabi dan wali, karena dengan jiwa seseorang dapat menyingkap hijab-hijab kegaiban dan pengetahuan ketuhanan yang tidak dijangkau oleh jiwa-jiwa sebelumnya.

Sehingga dari tingkatan-tingkatan jiwa itu membentuk struktur daya jiwa yang terdiri dari lima indera internal; akal sehat, daya khayal (imajinasi), kecerdasan, daya memori, dan intelek. Fungsi dari kelima indera internal ini dilukiskan berdasarkan bentuk dan makna. Akal sehat adalah kemampuan untuk memahami bentuk dari sesuatu, sedangkan daya khayal adalah kemampuan untuk memahami makna. Kedua struktur ini akan menjadi operatif jika seseorang dapat memahami bentuk dan makna secara bersamaan. Kecerdasan merupakan kemampuan menyerap dan menyimpan serta melestarikan bentuk-bentuk. Sedangkan daya memori merupakan kemampuan menyimpan dan melestarikan makna-makna. Kedua fungsi tersebut memainkan peranan penting dalam kontemplasi. Sedangkan yang terakhir, intelek, merupakan kemampuan intuitif, hati spiritual dalam bahasa sufi, untuk mengatur dan mengendalikan fenomena sensibel maupun nomena intelejibel sedemikan rupa sehingga keseimbangan antara keduanya senantiasa terpelihara.[27]
Imajinasi yang berperan penting sebagai “jembatan” antara akal dan perasaan pada manusia berada pada dunia imajinal berupa gerakan-gerakan fisik atau transformasi benda-benda material. Ketika sesuatu dijelmakan, ia muncul kepada seseorang sebagai sebuah “bayangan”. Proses penjelmaan ini disebut imajinal yang memiliki suatu realitas tertentu. Benda-benda imajinal memiliki sifat-sifat bersisi dua, seperti jiwa memiliki sifat-sifat ruh dan sifat-sifat tubuh.[28]
Realitas yang muncul tersebut kadang mempunyai makna dan bentuk yang saling berlawanan. Misalnya seseorang yang bermimpi melihat sesuatu yang bersifat korporeal, bukan sebagai sesuatu yang bersifat korporeal. Objek yang dilihatnya memiliki bentuk korporeal sekalipun ia berada di dalam dunia imajinal. Imajinasilah yang bertugas untuk memahami makna, yakni hakikat segala sesuatu yang tidak memiliki bentuk luar, karena makna adalah milik dunia kecerdasan. Sementara bentuk inderawi adalah milik dunia eksternal jasad-jasad korporeal.
Namun imajinasi memiliki kekuatan untuk memadukan makna dan bentuk-bentuk inderawi yang saling berlawanan tersebut. Karena menurut Ibn ‘Arabi,[29] salah satu akibat dari kekuatan tersebut karena penciptaan dunia imajinasi yang nyata di dalam seluruh pertentangannya (coincidentia opositarum). Perasaan dan akal tidak mungkin dapat berada di dalam pertentangan secara bersamaan, akan tetapi mungkin bagi imajinasi.
Bayangan-bayangan imajinal tersebut dapat dipahami oleh imajinasi manusia dengan tiga cara. Pertama adalah pada tingkatan makna tunggal (mujarrad) dari suatu substrata, yang dapat ditangkap oleh akal melalui pembuktian a priori. Cara kedua adalah pada tingkatan karakteristik yang dapat ditangkap oleh perasaan karena bersifat inderawi. Dan yang ketiga adalah tingkatan yang dapat ditangkap oleh akal dan perasaan, termasuk di dalamnya hal-hal yang bersifat imajinal.[30] “Penglihatan” akan Tuhan yang dialami oleh para wali Tuhan seringkali melibatkan “perwujudan” (tajassud) para malaikat, nabi, atau bahkan Tuhan, meski objek-objek “penglihatan ini sesungguhnya tidak memiliki wujud jasadiah.
Imajinasi senantiasa menunjukkan segala sesuatu yang bertentangan secara bersamaan, dan di dalamnya seluruh hakikat menjadi nyata sebagaimana adanya. Kebenaran dari hal ini dapat ditangkap dari Firman Tuhan, “Engkau tidak melempar ketika engkau melempar”.[31] Bahwa apa yang terlihat pada dunia imajinal (mimpi) bukan kenyataan sesungguhnya.
Kehadiran imajinasi menjadi nyata saat seseorang tertidur atau absen dari segala sesuatu yang bersifat inderawi. Dalam tidur, imajinasi mencapai keutuhannya dan, utamanya, dalam kondisi eksistensialnya. Hal inilah yang dialami kaum gnostik (al-ârif) pada keadaan-keadaan spiritual, seperti ketidakhadiran (ghaibah), kesirnaan (fanâ), ketiadaan (mahw), dan keadaan serupa lainnya.[32]
Kehadiran imajinasi menolong manusia untuk mengetahui bahwa terdapat dunia lain yang mirip dengan dunia inderawi. Melalui percepatan transmutasi bentuk imajinal, Dia mengundang perhatian orang-orang yang bermimpi supaya tertuju pada kenyataan bahwa di dalam dunia inderawi terdapat eksistensi wujud yang senantiasa mengalami transmutasi, meski hanya mampu ditangkap melalui kata-kata dan gerakan dan tidak melalui mata dan perasaan. Kecuali, orang yang dapat menangkap berbagai bentuk transmutasi dan perubahan dengan menggunakan penglihatan mata hati, yakni penyingkapan melalui refleksi. [33]

Antara al-Ru’yâ dan al-Hulm.
Kata al-ru’yâ[34]  berasal dari akar kata raâyarâ - ra‘yu atau ru’yah, yang berarti melihat. Kata-kata tersebut, walaupun berasal dari akar kata yang sama namun menghasilkan variasi-variasi retorika dikarenakan perbedaan konteks-konteks penandaannya. Al- ru’yah dipergunakan untuk penglihatan indrawi dalam keadaan sadar, dalam bahasa Ibn Hajar al-´Asqalâni disebut al-khawâþthir,[35] sedangkan al-ru’yâ adalah melihat dalam keadaan tertidur, dan al-ra’yu menunjukkan pemikiran dan simbol-simbol.[36]
Sedangkan al-hulm berasal dari akar kata halama – yahlumu – hulman yang berarti melihat sesuatu yang jelek di kala tidur, yang biasa disebut bermimpi.[37] Penggunaan kata al-hulm dalam bahasa Arab untuk menunjukkan arti kecemasan-kecemasan ilusif dan campur aduk yang membingungkan dan membutuhkan kejelasan apa yang dilihat dan kuatnya gambaran yang hadir.
Kata al-ru’yâ, dalam al-qur’an, selalu dipergunakan dalam bentuk mufrad, menunjukkan pada makna kejelasan. Sedangkan kata al-hulm, dipergunakan dalam bentuk jamak yang disandarkan pada kata adlghâts, untuk menunjukkan arti campur aduk.[38] Al-ru’yâ ini sering disebut dengan mimpi yang benar, dan al-hulm adalah mimpi buruk yang dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan  nightmare.
Al-Ru’yâ, mimpi yang benar, membawa pesan penting berupa kabar baik dari Allah sehingga memotivasi seseorang untuk melakukan perbuatan baik, atau memberinya petunjuk, atau bahkan membawa pesan yang merupakan peringatan dari-Nya yang berkenaan dengan dosa kita sehingga kita akan lebih berhati-hati dan berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Mimpi ini sangat jelas dan tidak mudah kita lupakan. Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui hakekat mimpi ini, dia tidak akan tahu hakekat-hakekat yang tersembunyi dalam mimpi tersebut, seperti hakekat bermimpi para rasul serta hakekat bermimpi bertemu Allah.[39]
Sedangkan al-hulm selalu dikaitkan dan disandarkan kepada syetan. Hal ini berdasarkan penjelasan nabi dalam salah satu haditsnya.[40] Mimpi ini disebabkan oleh daya fantasi yang dilayani oleh dua daya; daya hasrat dan daya konsepsi. Daya hasrat, yang dilayani oleh syahwat, emosi dan daya geraknya, melayani daya fantasi dengan memberikan keinginan untuk bergerak. Sedangkan daya konsepsi, yang dilayani oleh indera kolektif dengan panca indera eksternalnya, bertugas menerima penyusunan dan pemisahan sketsa-sketsa inderawi yang tersimpan di dalamnya.[41] Dan mimpi itu akan terjadi manakala kedua daya fantasi tersebut lebih menguasai jiwa dalam arti bahwa jiwa tidak dapat melepaskan diri dari jerat-jerat inderawi.[42]

Mimpi Menurut Sufi
Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa tidur ada dua jenis. Yang pertama adalah tidur biasa di mana seseorang dapat memenuhi hasratnya, dan untuk menghilangkan kepenatan tubuh. Itulah tidur yang dimaksudkan di dalam firman Allah, bahwa tidur adalah untuk mengistirahatkan setiap bagian tubuh dan menghilangkan kepenatan, dan merupakan saudara kematian. Dan yang kedua adalah tidur transferal (intiqâl), yaitu tidur yang biasanya terdapat mimpi-mimpi. Jiwa tertransferasikan dari yang kasat mata menuju yang gaib, sehingga mampu melihat apa yang terdapat di dalam perbendaharaan imajinasi (khizânat al-khayâl), di mana perasaan mampu mengangkat objek-objek indrawi, dan yang memperoleh bentuk dari Sang Pemberi Bentuk, sebagai bagian dari perbendaharaan.[43]
Keadaan transferal dikarenakan makna-makna tertransferasikan dari kesatuan sebuah substrata ke dalam suatu keadaan wujud yang terbungkus di dalam substrata, sebagaimana pengejawantahan Yang Nyata di dalam bentuk jasad korporeal, ilmu dalam bentuk susu, ataupun hal-hal yang serupa.
Mimpi memiliki sebuah wadah, locus, dan suatu keadaan di dalam dunia imajinasi. Locus mimpi adalah wilayah elemental; ia tidak memiliki locus lain. Para malaikat tidak pernah mengalami mimpi, karena mimpi hanya milik makhluk yang mendiami wilayah elemental. Locus mimpi adalah sebagian dari ilmu Tuhan, yakni transmutasi melalui bentuk-bentuk penyingkapan diri. Maka, segala sesuatu yang terjadi dalam mimpi tiada lain adalah kebenaran yang terbungkus di dalam kelelahan dan kepenatan kita.[44]
Perwujudan mimpi adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak tenggelam dalam tidur.[45] Bahkan dalam keadaan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainnya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.[46]
Al-Farabi[47] menyatakan bahwa pada saat manusia tidur, daya imajinasi dapat mengakses sketsa-sketsa inderawi yang disimpan. Selanjutnya daya imajinasi menyusun dan memisahkan sketsa-sketsa tersebut  dan kemudian melakukan peniruan dengan menyusun sketsa inderawi yang tersimpan sesuai dengan pengaruh yang manusia alami pada saat tidur. Terkadang daya imajinasi dapat menerima hal-hal yang rasional karena menirunya dan hal-hal inderawi yang menjadi strukturnya, dan kadang-kadang menerima hal-hal inderawi seperti yang ia khayalkan atau dengan menirunya melalui hal-hal inderawi lainnya.
Manusia mempunyai kemampuan yang berbeda dalam kekuatan daya imajinasi dan kesiapan jiwa mereka. Hal ini berakibat pada hubungan dengan Alam Tinggi (Akal Aktif) dan penerimaan berbagai gambar darinya. Berakibat juga pada perbedaan mimpi seseorang.
Seseorang, ketika jiwanya tidak disibukkan dengan pengaruh-pengaruh indera lahirah dan diperkuat dengan keutamaan ruhaniah, maka jiwanya akan dapat berhubungan dengan induknya yang suci dan dapat berkomunikasi dengan akal aktif. Sehingga ia dapat menerima informasi tentang hal-hal yang gaib. Sebab jiwa merupakan alam transendental, sehingga dapat mengenal sesuatu yang transendental pula.[48]
Ketika daya imajinasi berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sekedar kekuatan, maka ia mempertahankan apa yang telah diperoleh. Lebih dari itu, khayalan menetap padanya tanpa harus dikalahkan oleh khayalan lain dan berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia akan menjadi mimpi yang tidak perlu ditakwilkan.[49]
Terkadang daya imajinasi sangat kuat pada sebagian orang, sehingga masukan dari daya indera tidak menghalanginya untuk membantu jiwa rasional dalam berhubungan dengan prinsip-prinsip luhur yang memberinya inspirasi mengenai berbagai perkara parsial pada saat sadar serta penerimaan gambar-gambar yang berasal darinya. Kemudian daya imajinasi melakukan sesuatu yang sama pada saat bermimpi yang membutuhkan takwil; dengan cara mengambil semua situasi dan menirunya serta menguasai inderawi, sehingga mempengaruhi apa yang ia imajinasikan di dalam daya imajinasi melalui pembentukan berbagai gambar yang diperoleh di dalam indera kolektif.
Akibatnya ia mampu menyaksikan gambar-gambar ilahiah yang menakjubkan dan nyata, serta kata-kata ilahiah yang dapat didengar seperti persepsi kewahyuan. Itulah tingkat makna yang terendah dari kenabian. Sementara itu, tingkat makna yang lebih kuat adalah jika situasi dan gambar tetap bertahan sesuai dengan kondisinya, dengan cara mencegah daya imajinasi untuk kembali menirunya dengan segala sesuatu yang lain.[50]
Lebih jauh al-Kindi menyatakan bahwa jika daya imajinasi sangat siap untuk menerima pengetahuan yang ada di dalam jiwa, maka jiwa universal akan mengabarkan tentang segala sesuatu yang belum terjadi. Tetapi jika daya imajinasi tidak terlalu siap maka jiwa akan mengabarkan pengetahuannya dalam bentuk simbol. Namun jika daya imajinasi lebih lemah untuk menerima simbol sejati, maka mimpi akan menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang dilihat orang di dalam mimpi. Dan jika daya imajinasi tidak dapat menerima pengetahuan tersebut maka mimpi akan menjadi tidak teratur, rancu, dan tidak jelas. Mimpi inilah yang disebut adlghâts ahlâm atau mimpi yang tidak menunjukkan apa-apa.[51]
Kadar kelebihan jiwa dalam hal kesucian dan kejernihan menentukan kadar kebenaran mimpinya. Dari Nabi Saw disebutkan, tidak ada yang tersisa dari kenabian kecuali berita-berita baik, yaitu mimpi yang benar seseorang. Dan mimpi yang benar itu salah satu bagian dari dua puluh enam bagian kenabian, atau empat puluh enam bagian dari kenabian, hingga tujuh puluh bagian dari kenabian.[52]
Mimpi inilah yang dikatakan Ibn ‘Arabi sebagai mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbol-simbolnya. Di sini imajinasi[53] tidak campur tangan. Hati langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma’âni ghaibiyyah) sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran. Mereka adalah wahyu-wahyu Allah sendiri, dan mimpi-mimpi itu berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu, ilham, dan inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.[54]

Fungsi dan Substansi Mimpi.
Fungsi Mimpi
Fungsi mimpi berbeda dalam pandangan psikologi dengan pandangan tasawuf. Dalam pandangan psikologis mimpi berfungsi untuk menyalurkan perasaan yang terpendam yang tidak dapat diungkapkan pada waktu sadar, dan menyalurkan dorongan dan hasrat itu agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku; ataupun memberi gambaran mengenai sumber-sumber ketegangan dan sengketa batin yang mungkin saja orang bersangkutan sendiri tidak memahaminya,[55] atau dengan kata lain mengkompensasi ketidak-seimbangan yang terjadi dalam dialektika antara dunia internal dengan realitas eksternal.[56] Adapun  fungsi mimpi dalam tasawuf sebagaimana yang dapat penulis simpulkan dari berbagai literatur adalah sebagai berikut:
Pertama, Mimpi merupakan sarana penghubung untuk pewahyuan dan sarana komunikasi Tuhan dengan orang-orang pilihan-Nya dalam bentuk ilham.[57] Wahyu ataupun ilham merupakan makna-makna yang berada pada dunia makna. Dunia makna ini posisinya lebih tinggi dari dunia inderawi. Makna-makna ini tidak dapat teraktualisasikan secara konkret dalam dunia inderawi tanpa melalui perantara yang dapat memberikan bentuk terhadap makna-makna tersebut. Perantara tersebut adalah dunia imajinasi di mana mimpi berada. Dunia imajinasi ini memberikan tubuh jasmaniyah kepada makna-makna tersebut dan sebaliknya menjadikan obyek-obyek inderawi itu realitas-realitas lembut (maknawi). Disinilah, menurut Ibn ‘Arabi, mengapa awal pewahyuan diberikan dalam bentuk mimpi.[58]
Dan Al-Ghazali menegaskan bahwa aktualisasi dari makna-makna tersebut melalui salah satu  pintu jiwa. Karena menurutnya bahwa jiwa di mana dunia imajinasi berada memiliki dua pintu, satu pintu eksternal ke dunia materi dan satu pintu internal menuju ke dunia immateri yang merupakan pintu ilham dan pewahyuan.[59] 
Kedua, menurut Ibn Faridl, fungsi mimpi adalah sebagai sarana untuk menampakkan ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi dalam jiwa. ilmu dan pengetahuan tersebut sudah ada di dalam jiwa sejak awal, dan sangat berbeda baik dengan ilmu-ilmu aqliyah, maupun dengan ilmu-ilmu naqliyah.[60] Sebab ilmu-ilmu aqliyah dan ilmu-ilmu naqliyah tersebut diperoleh dari luar jiwa, sementara ilmu-ilmu yang tersembunyi itu diperoleh dan disandarkan jiwa dari substansi jiwa itu sendiri. Ia berupa limpahan (emanasi) cahaya Ilahi ke dalam jiwa itu  dan pengajaran langsung dari Allah (ta´lîm rabbâni) tanpa perantara dengan dibukakannya tabir hijab (kasyf). Pada saat itu jiwa tidak lagi disibukkan oleh hal-hal yang bersifat inderawi, alam materi, akan tetapi jiwa lebih disibukkan oleh alam ruhani dan berkomunikasi dengan alam tersebut. Sehingga jiwa itu dapat merekam apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi nantinya.[61]
Ketiga, Mimpi berfungsi sebagai instrumen penjelajahan tahapan spiritualitas, dan proses perjalanan serta transformasi spiritual. Hal ini dapat dilihat dalam aliran-aliran tarekat yang ada, di mana mimpi merupakan barometer untuk mengukur perkembangan proses perjalanan dan transformasi spiritual seorang murid.[62] Dan bahkan dalam tarekat Halveti Jerrahi, sebagaimana yang dilaporkan oleh Robert Frager, mimpi merupakan sarana seseorang untuk diterima menjadi murid.[63] Sebab menurut mereka mimpi mengandung petunjuk spiritual. Bukti yang lebih autentik tentang ini adalah autobiografi yang ditulis oleh al-Hakim al-Tirmidzi. Autobiografi tersebut diberi judul Buduwwu Sya’ni memuat mimpi- mimpi yang dialaminya dan mimpi-mimpi yang dialami istrinya.[64] Catatan-catatan tentang mimpi itu menunjukkan bukti fungsi praktis mimpi dalam proses perjalanan dan transformasi spiritual al-Tirmidzi dan istrinya.[65]
Keempat, Sebagai media komunikasi antara sufi dengan Nabi  Muhammad saw. Pertemuan itu merupakan kenikmatan yang tiada tara  dan limpahan ilmu yang paling besar[66] serta menandakan tingkat dan kedudukan seseorang dalam perjalanan ruhani. Mimpi adalah salah satu sarana untuk bertemu dengannya.
Sebagai contoh adalah mimpi Ibn al-Fâridl. Dalam mimpi itu ia, Ibn al-Fâridl, bertemu dengan nabi yang menanyakan nasabnya. Ia menjawab bahwa ia bernasab ke Bani Sa´ad yang merupakan kabilah Halimah al-Sa´diyah yang menyusui nabi. Akan tetapi nabi menjawab: “Tidak, engkau adalah dari keturunanku dan nasabmu sampai ke nasabku.” Ibn al-Fâridl menjawab: “Tidak ya Rasulullah, saya telah menghafal nasab saya ini dari bapak dan kakek saya, dan mereka mengatakan bahwa saya berasal dari Bani Sa´ad.” Kemudian Rasulullah kembali menjawab: “Tidak, kamu berasal dari keturunanku dan nasabmu sampai ke nasabku.” Maka Ibn al-Fâridl mengatakan: “Engkau benar ya Rasulullah, engkau benar ya Rasulullah.”
Ibn al-Fâridh menakwilkan mimpinya ini dalam beberapa syair qashidahnya dan mengatakan bahwa nasabnya itu bukanlah silsilah nasab kekeluargaan, akan tetapi nasab kecintaan yang menurut para sufi lebih mulia dan lebih tinggi dibandingkan nasab kekeluargaan.[67]
Dalam mimpi yang lain ibn al-Fâridl menceritakan bahwa Rasulullah bertanya kepadanya tentang judul qashidah yang ditulisnya dan ia pun menjawab bahwa ia memberinya judul dengan Lawâ’ih al-Janân wa Rawâ’ih al-Jinân, nabi pun menjawab “Jangan diberi judul demikian, tapi beri judul Nuzhum al-Sulûk.”[68]
Lebih dari itu untuk dapat bertemu dengan Rasulullah, baik dalam keadaan mimpi maupun terjaga, para sufi memperbanyak mengamalkan dan membaca shalawat yang diyakini dapat menghantarkan mereka bertemu dengan beliau. Usaha-usaha untuk mengumpulkan shalawat tersebut telah dilakukan oleh Yusuf ibn Isma´il al-Nabhâni dimana ia juga menerangkan faedah-faedah shalawat.[69]
 Substansi Mimpi
Dunia yang kita alami ketika kita bermimpi adalah dunia imajinasi. Ketika bermimpi, jiwa menyentuh bayangan yang bukan jiwa itu sendiri, tetapi tidak berbeda dari jiwa. Sebuah bidang yang utuh yang merupakan sebuah ambiguitas dan sebuah keberadaan yang aneh gaib.
Mimpi dapat menggambarkan penubuhan spiritual jika perubahan spiritual menjadi sesuatu yang bersifat tubuh (jasmaniah). Tetapi mimpi juga dapat berperan sebagai spiritualisasi hal-hal yang bersifat jasmaniah jika ingatan kita mencapai bayangan dari dunia luar. Atau bisa jadi bukan keduanya, atau bahkan merupakan keduanya, tergantung bagaimana kita memandang mereka.
Sebagian mimpi memerlukan penafsiran yang disebut dengan ta’bîr. Kata ta’bîr berasal dari asal kata ‘a-ba-ra, yang berarti melampaui, melintasi, mengarungi, dan melewati.[70] Atau melampaui dari yang tampak menuju batinnya, atau melampaui dan melintasi gambaran-gambaran imajinatif menuju makna-makna psikologis.[71] Sehingga orang yang mampu menafsirkan mimpi adalah orang yang mampu melampaui bentuk inderawi dari (dunia) mimpi menuju makna yang menyelubungi bentuk. Hal ini karena sang penafsir melampaui (‘ubûr) apa yang dia nyatakan. Dengan kata lain, melalui pernyataannya, dia mampu melintasi kehadiran dirinya sendiri dan orang yang mendengarnya. Karenanya, dia mentransfer kata-katanya dari imajinasi ke imajinasi. Imajinasi dapat bersesuaian atau berseberangan dengan imajinasi itu sendiri. Jika ia bersesuaian, maka disebut pemahaman, jika dia tidak bersesuaian berarti dia tidak dapat memahami.
Melalui ilmu tafsir mimpi, orang dapat mengetahui makna berbagai bentuk gambaran yang tampak olehnya serta apa yang dapat membangkitkan imajinasi yang tertidur, lemah, hampa, dan tumpul. Dan orang yang mampu menyeberangi serta memiliki ta’bir mimpi akan melihat sesuatu yang luar biasa. Apa yang tidak dapat dilihat oleh yang lain, akan nyata olehnya.
Prinsip yang paling penting dalam pengetahuan penafsiran mimpi adalah prinsip kelaziman dan kesesuaian. Untuk menafsirkan mimpi secara tepat, seseorang haruslah memahami sifat-sifat yang muncul di dalam mimpi dan kemudian memahami bagaimanakah sifat-sifat tersebut bersesuaian dengan sifat-sifat sesuatu yang lain yang tersembunyi dari persepsi orang yang bermimpi. Mimpi mestilah dipahami berdasarkan beberapa kesesuaian yang lazim antara bayangan dan makna yang terbentuk melalui bayangan tersebut.[72]
Sebagai contohnya, al-Ghazali telah mencoba menerangkan prinsip ini melalui sebuah penafsiran Ibn Sirin tentang mimpi seseorang yang mengatakan bahwa ia bermimpi mengunci mulut-mulut dan bagian-bagian paling pribadi orang lain dengan cincin pengunci. Ibn Sirin mengatakan bahwa orang tersebut mestinya adalah seorang mu’adzdzin yang memanggil orang untuk melakukan shalat di pagi hari bulan Ramadhan.
 Dari sisi pandangan kelaziman (kewajaran), maka dengan menyampaikan panggilan adhan tersebut berarti ia mengumumkan bahwasanya waktu puasa telah dimulai, dan mereka tidak diperkenankan lagi makan dan minum, dan melampiaskan dorongan seksual. Panggilan adzan itu disimbolkan oleh cincin yang secara esensial menandakan pencegahan.[73]
Dalam pembahasan ini, substansi mimpi akan difokuskan pada mimpi-mimpi yang dialami para sâlikîn dalam melewati tahapan-tahapan spiritual mereka dan transformasi jiwa-jiwa mereka. Mulai dari perjalanan jiwa ammârah menuju jiwa lawwâmah kemudian ke jiwa mulhamah hingga sampai pada jiwa muþthma’innah, yang merupakan jiwa yang telah mencapai tingkat perkembangan hati dan telah memperoleh kemampuan untuk mencapai perkambangan ruh.
Jiwa-jiwa tersebut akan berevolusi dari satu jiwa ke jiwa yang lain. Masing-masing jiwa memiliki mimpi-mimpi dengan substansinya tersendiri. Dalam pemulaan perjalanan spiritualnya dan jiwanya mulai dibersihkan dan dimurnikan secara jasmani maupun ruhani, seorang sâlik akan mendapatkan dirinya dalam mimpi-mimpi. Pada tahap ini, jiwa yang kotor itu akan menjadi jiwa ammârah jika dipenuhi oleh sifat-sifat syetan dan dikendalikan oleh sikap yang seperti api yang mudah terbakar.
Mimpi jiwa ini melambangkan kejahatan dan menyuruh pada kejahatan, sebagaimana sifat-sifat syetan; sesat menyesatkan. Pada fase ini seorang sâlik akan bermimpi tentang seekor monster yang melambangkan perangai yang salah dan lemah. Dia juga akan bermimpi tentang ular, naga, kalajengking, lebah, dan tarantula, yang semua itu melambangkan kemunafikan, keterikatan dengan dunia, iri hati, dan kekikiran yang berlebihan.
Di samping itu, dia juga akan bermimpi tentang rumah yang terbakar, rumah yang gelap, rumah yang terpolusi maupun rumah yang penuh dengan kengerian, dan juga tentang pakaian terbakar. Hal itu melambangkan penganiayaan, keruhnya rohani akibat tidak memiliki sifat wara’, kecintaan kepada dunia dan buruknya keyakinannya.[74]
Dalam proses peralihan dari jiwa ammârah  menuju jiwa lawwâmah, jiwa ini dipenuhi oleh sifat-sifat buas dan dikendalikan oleh sifat-sifat kehalusan seperti udara. Perlambangan dari mimpi pada fase ini adalah kejahatan tersendiri tanpa menjeru- muskan orang lain kepada kejahatan itu, dengan kata lain sesat akan tetapi tidak menyesatkan. Dan mimpi yang terlihat pada tahapan ini adalah gunung-gunung yang menjulang, dataran yang kering, dan berbagai jenis hewan pemangsa. Sebagai contohnya adalah Jika ia bermimpi seekor macan tutul, hyena, harimau, beruang, rubah, atau anjing, hal ini melambangkan keangkuhan, penghianatan, keberanian dalam berbuat kejahatan dan dosa-dosa besar, kebohongan dan hasrat birahi yang terlarang. Nurbakhsyi menyatakan bahwa hewan-hewan predator dan serangga lain adalah bentuk-bentuk simbol dari perangai dan sikap-sikap yang tercela. Sikap-sikap yang paling tercela dilambangkan dengan hewan-hewan predator yang menakutkan dan serangga-serangga yang berbisa, sedangkan sikap-sikap berlebihan disimbolkan dengan hewan-hewan predator yang lebih lemah dan serangga-serangga yang tidak beracun.[75]
Ketika jiwa lawwâmah tersebut dalam proses transformasi menuju jiwa mulhamah, maka ia akan dikendali oleh sifat-sifat air dan terbebas dari perangai buas. Ia pun akan bermimpi tentang topografis seperti bukit, lembah dengan berbagai jenis hewan pemakan rumput.
Mimpi-mimpi yang muncul pada fase ini disimbolkan, di antaranya, oleh keledai yang melambangkan hasrat seksual, keingkaran atau kebodohan. Atau disimbolkan oleh sapi baik yang kurus maupun yang gemuk, yang melambangkan kemiskinan dan kerakusan. Juga akan muncul dalam bentuk kambing dan hewan-hewan yang bertanduk, serta hewan-hewan ternak dan liar lainya, yang kesemuanya menyimbolkan kemunafikan, kesombongan, dan ambisi.[76]
Pada proses selanjutnya, jiwa mulhamah tersebut akan tertranformasikan menuju jiwa muthþma’innah jika ia benar-benar bersih dari karakter-karakter yang buas. Di sini ia akan dikendalikan oleh sifat tanah yang stabil dan dengannya ia memiliki karakter kemanusian, kemuliaan, kelembutan serta kepatuhan. Dan ia akan melihat cahaya biru yang merupakan tanda kemurnian jiwa dan ketentraman dalam alam mimpi.
Gambaran-gambaran yang akan terlihat dalam mimpi pada jiwa ini adalah hewan-hewan ternak tertentu yang dekat dengan manusia dalam aktivitasnya sehari-hari dan berbagai jenis burung-burung. Seperti kuda yang melambangkan ibadah sehari-hari, unta yang melambangkan berserah diri (islam) dan jika unta itu mabuk berarti cinta dan kerinduan, gajah yang melambangkan toleransi dan kedudukan yang tinggi, ataupun biri-biri yang melambangkan keimanan dan kepatuhan.
Pada fase ini burung-burung secara umum melambangkan aspirasi dan himmah (keinginan yang kuat). Adapun di antara jenis burung yang muncul dalam mimpi ini, sebagaimana yang dinyakatan oleh Nurbakhsyi, adalah burung jalak dan kakak tua yang melambangkan tentang pengetahuan ketuhanan dan spiritual, serta ilmu tentang tarekat serta hakikat. Burung hantu melambangkan dzikir, tidak tidur di malam hari dan pengasingan diri. Burung Bulbul melambangkan cinta, penglihatan, dan musik, sedangkan merpati gelang dan merpati hutan  melambangkan keikhlasan (qana’at) dan kebiasaan serta ketekunan dalam melakukan dzikir dan ibadah. Burung tekukur melambangkan kegiatan dzikir pada tingkat spiritual hati dan pemurnian kesadaran yang berbeda-beda. Burung rajawali melambangkan hal-hal spiritual yang lebih tinggi dan orang-orang yang ingin dekat dengan Allah. Burung huma melambangkan disiplin pertapaan, tingkat kesadaran hati yang tersembunyi, atau kesadaran yang paling dalam (khafi), atau hal-hal yang berhubungan dengan alam kekuasaan (jabarut). Burung simurg melambangkan perwujudan esensi ketuhanan, peleburan (fana) dengan Allah dan pencapaian alam Ketuhanan (lahut) dan tahap perkembangan kedekatan dengan Allah.[77]
Dalam proses transformasi jiwa sang sâlik, manakala karakter syetan, karakter hewan yang buas dan kejam berubah menjadi karakter yang manusiawi, maka ia akan sering bermimpi tentang manusia yang memiliki jiwa-jiwa muthþma’innah.
Lain halnya dengan Abd al-Qâdir al-Jailâni yang berpendapat bahwa mimpi-mimpi yang dialami oleh seorang sâlik, ketika dalam proses perjalanan ruhaninya, baik pada tahapan jiwa ammârah, lawwâmah, dan mulhamah, banyak muncul dari akhlak tercela. Semua ini akan terlihat dalam mimpi berbentuk binatang buas, seperti macan (harimau), singa, serigala, beruang, anjing, babi, dan sebagainya. Sifat-sifat tercela ini merupakan sifat-sifat yang dijaga dan dijauhkan dari perjalanan ruh.[78] Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa harimau, beruang, serigala dan anjing, serta babi merupakan perlambangan dari sifat ujub, pemarah, suka memakan barang syubhat, dan cinta dunia serta selalu mengikuti keinginan syahwat. Adapun kelinci, musang, alap-alap, kucing, ular, kalajengking, dan tawon menyimbolkan tipu daya, kecintaan atas kedudukan, sifat kikir dan munafik, sifat suka memfitnah, dan menyakiti orang dengan lisan, serta mengadu domba.[79]
Sedangkan mimpi-mimpi yang berkait dengan jiwa muthma’innah banyak muncul dari akhlak mulia, seperti bermimpi melihat hewan yang halal dagingnya, atau burung- burung; karena kehidupan jiwa ini di surga bersumber dari jenis-jenis binatang tersebut.[80]
Keberhasilan seorang sâlik dalam pencapaiannya menuju jiwa muþthma’innah ditandai dengan keberhasilannya mengalahkan binatang-binatang yang ia perangi dalam mimpinya. Dan jika ia gagal tidak mampu mengalahkannya, berarti ia harus meningkatkan perjuangannya dengan ibadah dan dzikir, sehingga sifat-sifat kebinatangan tadi dikalahkan dan dilumpuhkan, bahkan dihancurkan, serta digantikan dengan sifat-sifat manusia. Jika ia mampu menghancurkannya secara total, berarti ia sudah meninggalkan keburukan-keburukan secara total.
Dan apabila ia bermimpi melihat binatang-binatang tadi berubah wujud menjadi manusia, ini menunjukkan bahwa keburukannya telah diganti dengan kebaikan dan telah terlepas dari sifat-sifat menyakitkan. Dan bila seseorang sudah mencapai maqam ini, ia tidak boleh lengah karena nafsu akan muncul kembali, dan dapat menghancurkan jiwa muthma’innah itu.[81]

PENUTUP

Dalam perspektif tasawuf, mimpi adalah representasi simbolis dari realitas-realitas transendental spiritual. Ia juga merupakan pesan-pesan yang datang dari pengetahuan tersembunyi dan tak dapat dijangkau oleh persepsi inderawi, serta datang dari kehadiran Ilahi dalam jiwa sang sufi. Mimpi memberikan tanggapan langsung dan informasi terhadap kebutuhan sejati jiwa sang sufi. Mimpi ini tidak hanya berasal dari dimensi bawah sadar, namun juga bersumber dari dimensi yang lebih jauh dan bersifat transendental, alam malakût. Dengan demikian ia tidak mungkin dapat direduksi sebagai ungkapan dorongan-dorongan keinginan yang tidak terpenuhi dari pengalaman eksistensial.
Pemahaman terhadap hakikat mimpi tersebut berimplikasi kepada pemahaman terhadap fungsi dan substansi mimpi. Fungsi mimpi menurut kaum sufi mempunyai makna yang lebih mulia dari hanya sebagai bunga tidur. Mimpi dapat berfungsi sebagai sarana pewahyuan dan komunikasi Tuhan dengan orang-orang pilihan-Nya dalam bentuk ilham. Melalui mimpi kaum sufi dapat berkomunikasi dengan Nabi, dan seseorang dapat mengukur dan mengetahui sampai di mana perkembangan spiritualnya di dalam proses perjalanan dan transformasi spiritual. Barometer pengukuran dilakukan dengan menyingkap makna dari substansi mimpi seseorang yang sangat beragam sesuai dengan tingkatan-tingkatan spiritual. Saat jiwanya berada pada tahapan jiwa ammârah, substansi yang muncul adalah mimpi-mimpi yang melambangkan kecenderungan pada kejahatan. Pada saat jiwa berada pada tahapan jiwa lawwâmah, maka substansi yang muncul adalah perlambangan dari kejahatan tersendiri tanpa menjerumuskan orang lain. Namun saat jiwa berada pada tahapan mulhamah, maka mimpi-mimpi yang muncul dapat berupa topografis alam dan tumbuhan-tumbuhan. Dan pada saat jiwa telah mencapai tahapan muthma’innah maka jiwa akan didominasi oleh sifat kestabilan tanah yang memiliki karakter kemanusiaan, kemuliaan, kelembutan, serta kepatuhan, dan mimpi-mimpi yang muncul dapat berupa hewan-hewan yang dekat dengan manusia dalam aktivitasnya dan berbagai jenis burung.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Aisyah, Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), cet. I.
Abu Daud, Sunan Abu Daud, jilid III (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996).
Afifi, Abu al-´Elâ, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi, (Cambrigde: University Press, 1939). 
Al-´Asqalâni, al-Hâfizh Ibn Hajar, al-Ru’â wa al-Ahlâm fi Dhau’i al-Kitâb wa al-Sunnah  (Kairo: Maktabah al-Turats al-Islâmi, 1977).
Al-Farabi, Abu Nash, Arâ’Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shubaih, t.th.).
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Majmû´ah Rasâil al-Ghazali (Kairo: Dar al-Fikr, 1991).  
---------, Ihya’ Ulûm al-Dîn, jilid III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989).
---------, Ma´ârij al-Quds fi Ma´rifati Madârij al-Nafs, diedit oleh Muhammad Musthþafa Abu al-Ela (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968).
---------, Maqâsid al-Falâsifah, diedit oleh Sulaiman Dunia (Kairo: Dâr al-Ma´arif, t.th.), Cet. II.
---------, Misykât al-Anwâr wa Mishfât al-Asrâr (Beirut: Alam al-Kutub, 1987).
Al-Jailani, As-Syeikh  Abdul Qadir, Sirrul Asrar, terj. K.H. Zezen Zaenal Abidin Zayadi Bazul Asyhab (tt.; ttp., tth.).
Al-Mashri, Ibn Manzhur al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, 1990), Cet. I.
Al-Nabhani, Yusuf ibn Isma´il, Sa´âdah al-Dârain fi al-Shalâh alâ Sayyid al-Kaunain (Beirut: Mathþba´ah Beirut, 1316 H).
Al-Qurthþubi, Abi al- Abbas Ahmad Ibn Umar, Talkhish Shahih al-Imâm Muslim, ditahqiq oleh Ra’fat Fauzi Abd. Al-Ghoni, Jilid II, (Kairo; Dar as-Salam, 1993), Cet II.
Al-Qusyairi, Abu al-Qâsim Abd. al-Kârim, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawuf (Beirut: Dar al-Khair, t.th.). 
Al-Suhrawardi, Hayâkil al-Nûr, diedit oleh Muhammad Ali Abu Rayyan (Kairo: al-Maktabah al-Tijâriyah al-Kubra, 1957).
--------, Hikmah al-Isyrâq, diedit oleh H. Corbin (Teheran: Academie Imperiale Iranienne De Philosophie, t.th.).
Al-Tirmidzi, Abu Abdillah al-Hakim, Kitâb Khatm al-‘Auliyâ’, ditahqiq oleh ´Utsman Isma´il Yahya (Beirut: al-Mathþba´ah al-Kâtsûlikiyah, 1965).
Anwar, Cecep Ramli Bihar, (ed.), Menyinari Relung-relung Ruhani ; Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (Jakarta: IIMAN, 2002).
Arif, Iman Setiadi, Dinamika Kepribadian: Gangguan dan Terapinya, (Bandung: Refika Aditama, 2006).
Azam, Ikram, “Islamic Meditation; Visionary Human Holism” dalam jurnal The Sufi Path, 3rd print (Kuala Lumpur: A. S. Noordeen, 1991).
Bakhtiar, Laleh, Perjalanan Menuju Tuhan; dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, terj. Purwanto (Bandung: Nuansa, 2001).
Berstein, Douglas A., Essential of Psychology (Boston: Houghton Mifflin Company, 1999), 127.
Burhani, Ahmad Najib, Sufisme Kota; Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Chittick, William C., Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, Terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001).
----------, Sufi Path of Knowledge (New York: State University of New York, 1989).
Frager, Robert, Psikologi Sufi untuk Transformasi; Hati, Diri, dan Jiwa, terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002).
Haeri, Syeikh Fadhlullah, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muhammad Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera, 1999).
Hilmi, Muhammad Mushthþafa, Ibn al-Fâridl; Sulþân alAsyiqîn  (Cairo: al-Mu’assasah al-Mishriyah al-´Amah, t.t.).
Ibn ‘Arabi, Muhyiddin, Al-Futûhât al-Makiyyah (Beirut: Dar Shâdir, 1972).
---------, Fushûsh al-Hikam, dikomentari oleh Abu al-Elâ Afifi (Beirut: Dâr al-Kitab al-´Arabi, 1980).
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-´Alâm (Beirut: Dar al-Masyriq, 1987), cet. 28.
Mahmud, Abd al-Halim, Qadliyah al-Tasawuf: al-Madrasah al-Syadziliyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1988).
Mahmud, Abd. Al-Qadir, al-Falsafah al-Shûfiyah fi al-Islâm; Mashâdiruhâ wa Nazhariyâtuhâ min al-Dîn wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Fikr al-´Arabi, t.th.). 
Murata, Sochiko & William C. Chittick, The Vision of Islam, (Minnesota: Paragon House, 1994).
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Neufeldt, Victoria, Webster’s New World College Dictionary, 3rd ed., (New York: MacMillan, 1988).
Nicholson, Reynold A., The Mystics in Islam (New York: Schocken Books, 1975). 
Nurbakhsy, Javad, Psikologi Sufi, terj. Arif Rakhmat (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998).
Pranawati, Fransiska, Menyingkap Rahasia Tidur (Bandung: Pionir Jaya, 2002). 
Sirin, Muhammad Ibn, Tafsir al-Ahlâm al-Kabîr (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991).
Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi  (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002).
Taylor, Ann, Introducing Psychology, 2nd ed. (Harmondsworth: Pinguin Book, 1982).
Trimingham, J. Spencer, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973).
Uwaidlah, Kamil Muhammad, al-Tahlîl al-Nafsi (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996).
Xavier, Marlon, “Dream Interpretation in Jung’s Theory ; A Comparative Analysis” dalam Carl A. Meier, Ancient Incubation (Bollingen, Zürich, 1981), di www:yahoo. com/Psychology/Donald Williams 1995-1999. Last updated 20 September 1999.



[1]Suatu ganguan mental yang dicirikan dengan rasa curiga yang mendalam, khayalan akan penyiksaan dan bahwa seseorang akan berbuat sesuatu terhadap dirinya. Lihat Victoria Neufeldt, Webster’s New World College Dictionary, 3rd ed. (New York: MacMillan, 1988), 980.
[2]Pengukuran gelombang aktifitas otak ini dilakukan dengan mempergunakan suatu alat yng dinamakan EEG (Electroencephalograph) di mana elektroda-elektrodanya dipasang pada kepala dan wajah orang yang tidur.
[3]Douglas A. Berstein, Essential of Psychology (Boston: Houghton Mifflin Company, 1999), 127.
[4]Lihat Ann Taylor, Introducing Psychology, 2nd ed. (Harmondsworth: Pinguin Book, 1982), 131-134.
[5]Fransiska Pranawati, Menyingkap Rahasia Tidur (Bandung: Pionir Jaya, 2002), 31.  
[6]Marlon Xavier “Dream Interpretation in Jung’s Theory; A Comparative Analysis” dalam Carl A. Meier, Ancient Incubation (Bollingen, Zürich, 1981) di www.yahoo.com/Psychology/Donald Williams 1995-1999. Last updated 20 September 1999.
[7]Kâmil Muhammad ´Uwaidlah, al-Tahlîl al-Nafsi (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 109.
[8]Ikram Azam, “Islamic Meditation; Visionary Human Holism” dalam jurnal The Sufi Path, 3rd print (Kuala Lumpur: A. S. Noordeen, 1991), 29.
[9]HR. Abu Daud dari Abu Hurairah dalam kitab al-adab bab ma jâ’a fi al-ru’yâ, hadits nomor 5017. Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, jilid III (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 309.
[10]Laleh Bakhtiar, Perjalanan Menuju Tuhan; dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, terj. Purwanto (Bandung: Nuansa, 2001), 144.
[11]Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, dikomentari oleh Abu al-Elâ Afifi (Beirut: Dâr al-Kitab al-´Arabi, 1980), 47.
[12]J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973), 190.
[13]Reynold A. Nicholson, The Mystics in Islam (New York: Schocken Books, 1975), 52.  
[14]Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota; Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif  (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 139.
[15]Trimingham, The Sufi Order …, 225.
[16]Ibid., 158.
[17]Syeikh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muhammad Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera, 1999), 98.
[18]Abd al-Halim Mahmud, Qadliyah al-Tasawuf: al-Madrasah al-Syadziliyah (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1988), 181.
[19]Al-Ghazali, “Al-Risalah al-Ladunniyah” (selanjutnya disebut al-Risâlah) dalam Majmû- ´ah Rasâil al-Ghazali, (Kairo: Dar al-Fikr, 1991), 223.  
[20]Qs. Al-Nur (24): 24 dan Qs. Yasin (36): 65
22Ibn ‘Arabi, Fushûsh …, 74. Lihat juga Al-Ghazali, Ihya’ Ulûm al-Dîn, (selanjutnya disebut Ihyâ), jilid III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), Cet. II, 23.
23William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, Terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), 125-126.
24Abu al-Qâsim Abd. al-Kârim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawuf, (Beirut: Dar al-Khair, t.th.), 100. 
25Al-Ghazali menyebutnya juga dengan istilah nafs insâniyah. Lihat Al-Ghazali, Ma´ârij al-Quds fi Ma´rifati Madârij al-Nafs, diedit oleh Muhammad Musthafa Abu al-Ela, (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968), 27.
26Ibid. Lihat juga Sochiko Murata & William C. Chittick, The Vision of Islam (Minnesota: Paragon House, 1994), 217-221. 
[26]Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr wa Mishfât al-Asrâr, (Beirut: Alam al-Kutub, 1987), 218. Lihat juga Abd. Al-Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Shûfiyah fi al-Islâm; Mashâdiruhâ wa Nazhariyâtuhâ min al-Dîn wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Fikr al-´Arabi, t.th.), 165-166. 
28Laleh Bakhtiar, Perjalanan menuju …, 37. Lihat juga Abd. Al-Qadir, Ibid.
29Murata, The Vision…, 102.
30Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Al-Futûhât al-Makiyyah, jilid IV (Beirut: Dar Shadir, 1972), 325. Lihat juga Ibn ‘Arabi, Fushþûshþ …, jilid II, 105.
31Ibid, jilid II, 66.
[31]Qs. Al-Anfal (8): 17.
33Ibn ‘Arabi, al-Futûhât …, 379.
34William C. Chittick, Sufi Path of Knowledge (New York: State University of New York, 1989), 119.
35Lihat Ibn Manzhur al-Ifriqi al-Mashri, Lisân al-‘Arab, jilid 14 (Beirut: Dar Shadir, 1990), Cet. I, 297. Lihat juga Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-´Alâm (Beirut: Dar al-Masyriq, 1987), cet. 28, 243.
36Al-Hâfizh Ibn Hajar al-´Asqalâni, al-Ru’â wa al-Ahlâm fi Dhau’i al-Kitâb wa al-Sunnah  (Kairo: Maktabah al-Turats al-Islâmi, 1977), 5. Dalam terminologi tasawuf al-khawâthþir adalah bisikan-bisikan jiwa yang terhujam dalam hati kecil (dlamîr); terkadang muncul dari malaikat maka disebut ilham; terkadang dari syetan yang disebut dengan was was; dan dari hawa nafsu yang disebut hawâjis bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt yang disebut  khâthir al-Haq. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah …, 83-84.
37Lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), cet. I, 190. Lihat juga, Muhammad Abd. Al-Aziz al-Khalidi (ed.), Syarh al-´Allâmah al-Zarqâni ´ala al-Mawâhib al-Laduniyah bi al-Minah al-Mu hammadiyah li al-´Allâmah al-Qasþthalâni, jilid X (Beirut: Dar al-Kutub al-´Ilmiyah, 1996), Cet. I, 29.
38Ibn Manzhur, Lisan al-Arab …, jilid 12, 145. Baca juga Luis Ma’luf, al-Munjid …, 150.
39Aisyah Abdurrahman, Manusia …, 190.
40Al-Ghazali, “al-Madlnûn Bihi ´ala Ghairi Ahlihi” dalam Majmû´ah…, 337.
41Hadits tersebut berbunyi al-ru’yâ min Allah wa al-hulm min al-syaithân. Lihat Abi al- Abbas Ahmad Ibn Umar al-Qurthþubi, Talkhish Shahih al-Imâm Muslim, diedit oleh Ra’fat Fauzi Abd. Al-Ghani, Jilid II (Kairo; Dar as-Salam, 1993), Cet II, 987.
42Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 148.
43Al-Ghazali, Maqâsid al-Falâsifah, diedit oleh Sulaiman Dunia (Kairo: Dâr al-Ma´arif, t.th.), Cet. II, 278.
[43]Ibn ‘Arabi, al-Futûhât …, Jilid II, 378. Bandingkan dengan  Ahmad al-Kamsyahanawi al-Khalidi, Jâmi’ al-Uþshûl fi al-Auliyâ’ (t.tp.: t.p., t.th.), 209-210; bandingkan juga dengan Al-Qusyairi, al-Risalah …, 366.                           
[44]Ibid., 380.
[45] Al-Qusyairi, al-Risalah …, 359.
[46]Ibn ‘Arabi, Fushþûshþ …, jilid II, 75.
[47]Abu Nash Al-Farabi, Arâ’Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shubaih, t.th.), 72.
[48]Al-Suhrawardi, Hikmah al-Isyrâq, diedit oleh H. Corbin (Teheran: Academie Imperiale Iranienne De Philosophie, t.th.), 236. Lihat juga al-Suhrawardi, Hayâkil al-Nûr, diedit oleh Muhammad Ali Abu Rayyan (Kairo: al-Maktabah al-Tijâriyah al-Kubra, 1957), cet. I, 85.
[49]al-Ghazali, Ma´ârij al-Quds …, 138.
[50]Najati, Jiwa dalam …, 233.
[51]Ibid., 33.              
[52]Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa mimpi dikatakan sebagai bagian kenabian dengan mengaitkannya dengan masa turunnya wahyu. Wahyu dalam bentuk mimpi turun selama 6 bulan. Jika hal ini dikaitkan dengan masa keseluruhan turunnya wahyu selama 23 tahun atau 276 bulan, maka masa 6 bulan tersebut sama dengan satu per enam dari 276 bulan tersebut. Lihat  Ibn ‘Arabi, al-Futûhât …, jilid II, 58. Lihat juga al-Asqalâni, al-Ru’a …,10.
[53]Lihat Ibn ‘Arabi, Fushûsh …, jilid I, 88-89.
[54]Abu al-´Elâ Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi, (Cambrigde: University Press, 1939), 132. 
[55]Cecep Ramli Bihar Anwar (ed.), Menyinari Relung-relung Ruhani; Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (Jakarta: IIMAN, 2002), 98-99.
[56]Iman Setiadi Arif, Dinamika Kepribadian: Gangguan dan Terapinya, (Bandung: Refika Aditama, 2006), 16.
58Hal ini didasari pada pemahaman atas ayat al-qur’an. Qs. Yunus (10): 62-64.
59Ibn ‘Arabi, al-Futûhât …, Jilid II, 375. Dalam salah satu hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari ‘Aishah mengatakan bahwa permulaan wahyu berbentuk mimpi yang benar. Lihat, al-Tajrîd al-Sharîh …, 3.
60Al-Ghazali, Ihyâ …, jilid III, 23 dan 29.
61Muhammad Mushthþafa Hilmi, Ibn al-Fâridl; Sulþân alAsyiqîn  (Cairo: al-Mu’assasah al-Mishriyah al-´Amah, t.t.), 192.
62Al-Ghazali, al-Risalah…, 231. Suhrawardi menyatakan bahwa pengetahuan jiwa inilah yang esensial, karena jiwalah yang sadar akan esensinya melalui esensi itu sendiri sehingga kesadaran itu merupakan dasar-dasar pengetahuan. Hal ini ia perjelas dengan mengemukakan pertemuannya dengan Aristoteles dalam mimpi yang dialaminya. Dalam mimpi itu ia bertanya tentang apa pengetahuan itu, bagaimana ia diperoleh, apa yang dikandungnya, dan bagaimana ia dinilai? Aristoteles menjawab :”kembalilah kepada jiwamu”. Lihat, Hossein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi; Pencerahan Ilmu Pengetahuan, terj. Afif Muhammad dan Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet. I, 137.
63Trimingham, The Sufi…, 158.
64Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi; Hati, Diri, dan Jiwa, terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), 14-15.
65Abu Abdillah al-Hakim al-Tirmidzi (selanjutnya disebut al-Hakim al-Tirmidzi), Kitâb Khatm al-‘Auliyâ’, ditahqiq oleh ´Utsman Isma´il Yahya (Beirut: al-Mathþba´ah al-Kâtsûlikiyah, 1965), 13-32.
66Sara Sviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 102
67Yusuf ibn Isma´il al-Nabhani, Sa´âdah al-Dârain fi al-Shalâh alâ Sayyid al-Kaunain (Beirut: Mathþba´ah Beirut, 1316 H), 409 dan 415.
68Hilmi, Ibn Fâridl …., 195.
69Ibid., 196.
70Al-Nabhani, Sa’âdah al-Dârain …, 409-84.
71Ma’luf, Al-Munjid …, 484. Lihat juga Ibn ‘Arabi, Fuþshûshþ …, jilid I, 86.
72Al-Khalidi, Syarh al-Allâmah …, 28.
73Murata, The Vision …, 223. Sedangkan Ibn Sirin dalam Tafsâr al-Ahlâm-nya menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penafsiran mimpi adalah karakter mimpi, waktu dan kebiasaan orang yang bermimpi. Lihat Ibn Sirin, Tafsir al-Ahlâm al-Kabîr (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), 7.
74Al-Ghazali, Ihyâ ……, jilid IV, 537.
75Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, terj. Arif Rakhmat (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998), Cet. I, 119.
76Ibid., 120-123.
77Ibid., 123-124.
78Ibid., 124-133.
78As-Syeikh  Abdul Qadir Al-Jailani, Sirrul Asrar, terj. K.H. Zezen Zaenal Abidin Zayadi Bazul Asyhab (tt.; ttp., tth)., 175.
79Ibid., 175-176.
80Ibid., 167.
81Ibid., 178.

Akulah Angin...Engkaulah Api

  Akulah Angin... Engkaulah Api   Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja! Gelorakan jiwa kita, Kekasih-sebentar saja! Dari Konya pancarkan ...